Posted by : ayachin
Selasa, 16 Juni 2015
Ya-haloooooooooo !!!
Youkoso! Ketemu lagi di aau-chan.blogspot.com
Mungkin ada dari kalian yang bertanya –mungkin juga tidak-
apa sih maksud dari “seorang pengamat dunia” yang tercantum di bawah nama
blogku. Kuakui memang rasanya lancang dan terlalu sombong mungkin menobatkan
diri sendiri sebagai seorang pengamat dunia. Namun aku tidak memiliki istilah
lain yang menurutku pas untuk menggambarkan sifatku ini. Karena itu, kupilihlah
gelar “seorang pengamat dunia” untukku sendiri.
Pengamat dunia. Aku tidak sehebat yang kalian bayangkan. Aku
bukan pengamat perekonomian, sosial, hukum, budaya, keagamaan, dll. dalam satu
waktu. Aku hanya seorang pengamat kejadian di dunia. Masih beberapa, belum
semuanya. Karena itu postingan blogku sedikit aku tidaklah sehebat yang kau pikirkan. Fokus
utamaku adalah masalah sosial yang erat hubungannya dengan interaksi. Landasan
utamaku adalah perasaan dan tujuan utamaku menulis blog ini adalah
memperlihatkan sudut pandangku kepada dunia
(baca: orang-orang yang tersesat di blogku). Meskipun, ada beberapa postingan
yang isinya hanyalah curahan hati.
Bagaimana caraku mengamati dunia?
Aku tidak mengamati dunia secara langsung. Pengamatan duniaku
timbul berdasarkan fakta-fakta yang muncul di depanku lalu otakku memikirkan
sebuah kesimpulan berdasarkan sudut pandangku sebagai seorang Aulia. Misalnya,
kita tahu di Indonesia ini banyak pengemis. Mungkin bagi sebagian orang ketika
didatangi pengemis, mereka akan merasa terganggu lalu pergi. Ada pula yang
merasa kasihan dan memberi barang serebu. Mungkin juga ada yang mengumpat di
dalam hati seperti, “Ih, malesin deh. Bisanya cuma minta-minta doang. Usaha,
dong!” Namun apa yang kupikirkan ketika melihat pengemis adalah;
“Kira-kira, seperti apa masa kecil mereka,
ya?”
Loh, kok malah lari ke masa kecil?
Iya, masa kecil. Pengemis biasanya berjalan kesana kemari
dengan raut yang tentunya mengundang rasa simpati. Jarang aku melihat ada
pengemis yang tersenyum. Namun pengemis juga manusia. Mereka juga pernah
mengecam status sebagai bayi, anak kecil, abege, abege labil, remaja, dewasa,
dan insya Allah tua. Aku bertanya-tanya pernahkah mereka, salah satu atau salah
dua dari mereka, duduk dan termenung lalu memikirkan masa kecil mereka?
Maksudku, anggap saja mereka sedang rehat dari aktivitas minta-minta mereka,
mereka duduk di suatu tempat dan minum. Memandang langit biru yang cerah dan
flashback ke masa lalu mereka. Flashback seperti,
“Ah, waktu aku kecil dulu,
jam segini main kelereng sama yang lain.”
“Ah, jam segini makan siang rame-rame walau lauk seadanya.”
“Ah, jam segini waktunya main petak umpet atau lompat tali.”
“Ah, bisakah aku kembali ke masa kecilku dulu? Masa di mana
aku tidak perlu mengkhawatirkan makan apa aku hari ini, atau berapa perolehan
uang yang kudapat hari ini, atau cacian apa lagi yang akan kudapat nanti …”
Mereka juga pernah tertawa. Mereka juga pernah bermain. Namun
mereka berada di masa depan yang tentunya tak seorangpun mau merasakannya.
Namun kebanyakan orang merendahkan mereka, menyuruh mereka berusaha namun tak
ada seorangpun yang memfasilitasi mereka. Berusaha, berusaha bagaimana?
Berusaha bagaimana yang mereka maksud?
Just please, shut your mouth.
Nah, kira-kira seperti itu. Aku sering memikirkan hal-hal
yang jarang dipikirkan oleh orang lain. Dan menurutku, ini unik. Karena suatu
masalah harus diselesaikan dalam menampilkan berbagai sudut pandang. Jika kau
menilai orang yang membawa kotak rokok di dalam tasnya adalah seorang perokok,
maka kau mungkin harus menonton film The
Fault in Our Stars dan lihat bagaimana August menjepit rokok di mulutnya
(hanya menjepit, bukan menyalakannya), lalu Hazel mengira August adalah seorang
perokok jadi ia marah kepada August, namun akhirnya August bisa menjelaskan
bahwa itu hanya perumpamaan. Dia tidak benar-benar merokok.
Aku yakin, bukan hanya aku yang sering berpikiran seperti
ini. Jauh di luar sana, mungkin kalian yang tersesat di blog ini juga sering
berpikir demikian. Jadi …
Apa kau juga seorang pengamat dunia … sepertiku?