Archive for 2015
It's been 40 days, Dad. Since you have went to His side. Since you leave us first, to another world.
Minggu, 20 September 2015.
Dear whoever-read-this-post
Pagi ini aku dibangunkan oleh nada dering ponselku. Nggak, terlalu cepat nafasmu untuk tercekat setelah membaca kalimat pertama. Lagu sountrack Naruto Shippuden yang diisi oleh Hemenway - By My Side yang emang lagi suka-sukanya aku mendengarkannya menggemakan seisi kamar kosku. Petikan gitar listrik yang membuatku terbangun seolah menyuruhku untuk lekas bangun dan bernyanyi sebelum bait pertama dinyanyikan. Oke kalimat terakhir itu cuma pemanis cap hiperbola buatan.
Sambil mengucek mata dan memulihkan kesadaran, aku mengangkat telpon. Ternyata dari Mama.
"Mmm .. Halo ..."
"Halo? Ya? Mau nggak dengar suara Abah?"
Ya nggak mungkin lah ya seorang anak yang Bapaknya sakit menolak tawaran dari Ibunya.
"Boleh." kataku.
Kemudian terdengar suara gemerisik pertanda telpon sedang dialihkan ke tangan Abah.
"Halo..."
"Halo. Kenapa, Bah?"
"Lia sehat aja, kan, yah, di sana?"
"Iya, Bah. Lia sehat aja."
"Iya, Bah. Lia sehat aja."
"Lia yang baik ya di sana. Belajar yang baik....................................udah, ndausah dibahas pecakapannya.
Suara Abah terdengar begitu jelas, begitu clear di telingaku. Banyak jeda kosong dalam pembicaraan kami karena aku tidak tahu harus menanyakan apa selain, "Gimana kondisi Abah sekarang?"
To be honest, hubunganku dengan Abah tidaklah terlalu dekat. Sedekat, seorang anak yang bisa curhat kepada Bapaknya atau seorang anak yang merengek kepada Bapaknya untuk dibelikan sesuatu. Sosok Aau-chan pemilik blog ini, terhadap bapaknya, begitu renggang kalau boleh dibilang. Ini bukan seperti aku dan Abah adalah sepasang Ayah dan anak yang hubungannya dingin. Tapi aku terlalu respek (hormat) kepada Abah sehingga aku tidak bisa -atau mampu- untuk melakukan apa yang biasa dilakukan anak-bungsu-perempuan pada umumnya.
Anak bungsu? Cewek? Pasti manja. Paling disayang.
Guys, please. Lihatlah hidupku dan kau takkan percaya lagi dengan kalimat itu.
Ketika aku selesai berbicara dengan Abah di telepon, telpon pun dialihkan kembali kepada Mama.
"Gimana, ya? Udah dengar suara Abah, kan, tadi?"
"Iya."
"Iya."
"Yah, begitulah suara Abah sekarang. Nggak terlalu jelas lagi."
What I was think that time is ... nggak jelas apanya? Suara Abah jelas-jelas aja kok di telingaku. Apanya yang salah dengan suara Abah?
Tapi aku tidak mengusik lebih lanjut pertanyaan itu.
Siangnya, aku mendapat kabar kalau Abah sudah kritis. Abah sudah nggak bisa diajak bicara lagi. All I do just crying. Hoping for the best for my Dad. Hope I will be okay whatever will be happen on my Dad. Hope I will strong enough to face world without Dad. Hope that everythings gonna be okay.
But no. Everything's not okay.
Sore harinya, aku melakukan video call dengan kakakku via LINE. Aku melihat keadaan Abah yang terbaring lemah dengan alat bantu pernafasan. Cara beliau bernafas, tidaklah normal. Seperti kejang-kejang kecil. Kepalaku sakit usai terlalu lama menangis. Dan air mataku sudah terlalu surut untuk dikeluarkan lagi.
Malam ketika Bintang, teman satu angakatan datang ke kos dan kami mengerjakan laporan, aku mendapat telpon yang mengatakan bahwa Abah sudah ... tiada. Akupun mulai tidak karuan namun, sebisa mungkin kutahan air mataku dari hadapan Bintang. Ketika Bintang telah pulang, rasanya tubuhku tiba-tiba menjadi berat. Aku menangis, kembali.
Rest of night, I spent to buy ticket to go back to South Borneo. Arranging schedules and many more.
Jadilah, pada Senin, 21 September aku pulang ke Kalimantan. Hari itu, masih saja kusempatkan diri untuk masuk perkuliahan, Kimia Organik dan Biologi Sel. Kemudian, sore hari sekitar pukul 3.30 dibantu oleh Bintang aku pergi ke stasiun kereta api Purwosari. Perjalanan di kereta terbilang sedikit apes karena aku tidak kebagian tempat duduk. Jadilah aku berdiri sambil mendengarkan lagu sembari menghentak-hentakkan kaki seolah anak gegaulan. Oke, lupakan bagian itu.
Setibanya di stasiun Maguwo, aku menunggu senpai-kakak kelasku waktu SMA-ku yang katanya mau mengantar keberangkatanku. Kami sempat berbincang sebentar sebelum aku pergi. Kalau tidak salah, pukul 18.00 aku masuk untuk check in.
Karena aku hanya membawa satu tas ransel, urusan check in ku tidak terlalu lama. Ketika menunggu di ruang tunggu, ada kejadian menarik terjadi. Seperti yang siapa-pun-tahu, bukanlah hal yang mustahil untuk menemukan bule di Bandara Adisujipto. Akupun diam-diam pingin duduk berdekatan dengan bule-dari-manapun-itu. Oke, kalian boleh memanggilku kampungan untuk hal ini. Bukan karena aku ingin berfoto dengan mereka atau apa, tetapi lebih-lebih aku ingin mencoba berbicara dengan mereka untuk mengetahui sejauh apa kemampuan bahasa Inggrisku saat ini. To be honest, aku tidak pernah mengikuti tes TOEFL.
In the end, aku tidak duduk dekat bule barat manapun. Agak kecewa, sih. Tapi, ya sudahlah. Aku pun duduk di salah satu bangku yang masing kosong di kedua sisinya. Kemudian, aku mendengarkan lagu kembali menggunakan headsetku.
Lho, menariknya di mana?
Menariknya, tahu-tahu ada orang yang duduk di belakangku. Mereka bercakap-cakap menggunakan bahasa Jepang. JEPANG! Salah satu negara yang sangat kukagumi, terlebih untuk seorang anime-lovers sepertiku ini. Akupun membalikkan badan ke sumber suara yang ternyata seorang perempuan berumur 40-an. Membuang segala sifat introvertku, aku langsung menyapanya.
"Anoo ... Anata wa Nihon jin desuka?"
Anu, apakah anda orang Jepang?
"Hai. Sou desu."
Ya, itu benar.
"Kyaaaa! -Oke, lebay. Aku tidak benar-benar mengatakan kyaaa! tapi huaaa!- Ureshiiiiii"
Huaaa! Senangnyaaa!
"Watashi wa Nihon daisuki! Anime daisuki!"
Saya sangat menyukai Jepang, (pula) Anime!
Kemudian terjadilah percakapan seorang anak-remaja-dengan-bahasa-jepang-yang-belum-fasih-versus-orang-jepang-yang-nyata-nyata-bahasa-jepangnya-tidak-diragukan-lagi.
Ngebayanginnya?
Ngga usah dibayangin.
Aku sempat bertukar email dengan beliau dan beliau dengan baik hatinya memberiku correction pen atau nama dagangnya tip-x dan pulpen yang-tinta-nya-bisa-dihapus. Iya, bisa dihapus! Kebayang, kan, seorang remaja-dengan-bahasa-jepang-yang-belum-fasih-dengan-mata-berbinar-binar-melihat-pulpen-yang-tintanya-bisa-dihapus.
Nggak kebayang? Nggak papa.
Okamoto Rei-san, nama beliau. Berdua bersama dengan suaminya, Yosuke-san, menjelajah dunia. mereka memperlihatkanku isi paspor mereka dan cap-cap dari berbagai negara pertanda mereka telah berkelana di berbagai negara. Irinya ~
Mereka juga bertanya bagaimana caraku mandi, maksudku, memakai shower atau dengan bak mandi. Cara mereka bertanya cukup unik, Rie-san menggambar bak mandi dan shower di kertas dan bertanya apakah aku menggunakan shower atau bak mandi. Aku menjawab shower, karena aku tidak tahu cara menjelaskan kepada mereka kalau aku mandi dengan ember dan gayung ('-' )>
Aku tidak pulang ke rumahku melainkan kampung halaman Abah, sekitar 1 jam dari rumah. Aku tiba sekitar pukul 3 dini hari. Mama menyambut kedatanganku. Akupun berpelukan dengan beliau.
Aku langsung beristirahat di kamar yang sama dengan Mama. Mama menceritakan kronologi bagaimana detik-detik terakhir Abah sampai Abah menghembuskan nafas terakhirnya. Berulang kali, berulang kali Mama berkata, "Bahkan disaat-saat terakhir, Abah masih mengangkat takbir. Masih mengucap syahadat. Mama salut sama Abah."
Sungguh aku iri kepada keluarga yang bisa berada di sisi beliau ketika saat terakhir Abah. Ketika aku datang, Abah sudah dimakamkan di areal pemakaman yang sama dengan Nenek. Siang harinya (21 September) barulah aku mengunjungi makam Abah. Pamitan dengan beliau sebelum akhirnya aku dan Mama pergi ke Barabai, kampung halaman mama untuk mengunjungi makam-makam keluarga mama. Di Barabai, aku memiliki kakek dari mama yang umurnya sudah terbilang lanjut.
"Mama pingin ketemu kakekmu."
Melelahkan, sungguh. Kau datang dari seberang pulau pukul 3 dini hari, siang harinya habis dzuhur kau pergi menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam ke Barabai kemudian kembali 1,5 jam ke kampung halaman Abah kemudian tambah 1 jam lagi pulang ke rumah. Perlu kutambahkan: di perjalanan kau diselimuti ASAP.
Tak ada sambutan hangat ketika aku membuka pintu rumah. Sambutan hangat yang mengindikasikan kekhawatiran akan kondisi mentalku sehabis ditinggalkan Abah. Yah, bukannya aku menuntut dipeluk satu keluarga, sih. Usai tak menerima sambutan akupun langsung ke kamarku yang sekarang beralih fungsi menjadi kamar kakak ke duaku, Adie.
Bahkan asap pun masuk ke kamarku.
Ya ampun.
Kak Adie menceritakan lagi kronologi ulang kematian Abah. Ia juga menunjukkan video ketika Abah dalam keadaan sekarat. Di dalam video tersebut, ada adegan ketika seluruh keluarga saling memeluk Abah dan IT'S TOTALLY MAKES ME SUPER JEALOUS!
There's so many things that I want to do with you, Dad.
There's so many things you haven't teach me yet.
I want to learn driving car with you, I want you and mom and bro and sis come to Solo and with me, we're traveling around Solo together. I want to take a family picture with you when I graduate on university. I want to be success so I can take you and Mom go to Mecca to do hajj. I want you to be by my side on my wedding. I want you to see child that born from me. I want you to play with them like what you have done with Firas, my sis' daughter. I want you to be here, by my side.
Dear pembaca yang tersesat di blog ini.
Terima kasih telah membaca kronologi perjalananku pulang ke Kalimantan.
Tapi belum, aku belum menyampaikan pesanku.
Sekarang, aku akan menyampaikan pesan yang sesungguhnya dari post ini, tujuan utamaku menulis post ini.
Pembaca yang aku sayangi,
Setiap keluarga pasti memiliki cerita mereka masing-masing, termasuk kamu yang sedang membaca post. Kamu bisa saja masih memiliki orang tua yang lengkap, atau sudah tidak lagi.
Untuk kamu yang terutama masih memiliki orang tua lengkap, let me give you some advice.
Sungguh beruntung dan bersyukurlah untuk kamu, yang masih memiliki orang tua lengkap, hubungannya sangat erat dengan mereka. Seerat, bahkan memiliki grup di LINE atau whatsapp yang isinya keluarga besar kalian. Aku tidak pernah memiliki pengalaman yang seperti itu dengan kedua orang tuaku. Karena itu, bersyukurlah.
Kau ingin mengintip sedikit bagaimana kondisi keluargaku? Mari kuperlihatkan.
Abah dan Mama adalah tipikal orang tua yang tidak terlalu memberikan penjagaan ketat kepada anak-anaknya. Mereka bisa saja menelpon ketika ada anak-anaknya yang belum pulang sampai larut malam, tetapi mereka, kalau boleh dikatakan, selalu ber-positif-thinking terhadap pergaulan anaknya.
Contohnya, ketika aku membawa teman-teman lelakiku ke rumah. Oke, aku tahu even yang kami lakukan adalah belajar bareng. Dan mama, mama sekalu menghidangkan camilan kepada kami. Tetapi, usai teman-temanku itu pulang, mama atau abah tidak pernah bertanya tentang siapa gerangan gerombolan lelaki tersebut. Mama hanya berkata "Belajar bareng, ya tadi?" instead of "Cowok-cowok barusan siapa aja? Kamu nggak pacaran sama salah satu diantara mereka, kan?" meski aku sudah diwanti-wanti agar tidak pacaran sebelum aku lulus kuliah dan bekerja.
Mama dan abah juga memberikan ruang yang longgar. Seperti, oke, ditetapkan jam malam adalah jam 10 WITA. Biasanya, aku akan mendapat panggilan sekitar pukul 9 malam oleh abah yang menanyakan, "Kapan pulang?" Aku akan menjawab, "Sekitar pukul 10." Pada praktiknya, aku pulang pukul 10.30 tetapi abah tak pernah memarahiku atas keterlambatanku.
Mama dan Abah juga memberi ruang kebebasan untuk bertindak. Mungkin prinsipnya, selama tidak merugikan dan tidak melanggar norma-norma, maka sah-sah saja. Contohnya, mungkin ada beberapa di antara kalian yang kalau makan sambil megang HP, kalian akan ditegur untuk main HP nya nanti saja setelah makan. Namun di keluargaku, makan sambil main HP bukanlah hal yang merugikan siapapun jadi sah-sah saja. Tidak pernah aku menerima teguran semacam itu. Bahkan makan di kamarpun, tak ada yang melarang.
Sistem yang mengatur hubungan antar anggota di keluargaku bisa terbilang, sangat simpel.
Hal ini berimbas pada beberapa hal. Kami, anak-anaknya jadi lebih individual. Tak pernah aku curhat sekalipun kepada kakakku yang perempuan apalagi laki-laki tentang apapun. Begitu pula dengan mereka. Begitupula dengan kami, kepada orang tua kami.
Malam terakhir aku berada di rumah sebelum pergi untuk benar-benar menetap di Solo sebagai mahasiswa, aku diminta mama untuk tidur sekamar dengan Abah. Di malam terakhir itu, aku bahkan menciptakan sedikit jarak antara aku dengan Abah. Kini aku menyesal, harusnya kupeluk saja Abah malam itu.
Abah, Lia kadang bertanya-tanya seberapa jauh abah mengenal Lia dan seberapa jauh Lia mengenal abah.
Lia tahu abah suka makan pakai kecap, bahkan mangga sekalipun abah makan pakai kecap, abah suka nonton pertandingan badminton dan tinju, lalu, abah, apa saja yang abah tahu tentang Lia?
Apa abah tahu kalau Lia suka teh yang hambar? Apa abah tahu Lia suka masakan paliat? Apa abah tahu Lia maniak anime?
Abah tentu tidak tahu tentang siapa yang Lia sukai sekarang ini, tapi pernahkan abah berandai-andai apakalah putrimu ini yang tentunya telah menginjak fase remaja-rentan-jatuh-cinta sedang menyukai atau berpacaran dengan seseorang?
Ada banyak, banyak hal yang ingin Lia ceritakan kepada abah.
Bah, Lia di sini baik-baik saja. Lia sehat-sehat saja. Makanan di sekitar kampus murah-murah lho, Bah, tapi tetap Lia kangen masakan banjar, masakan mama. Lia pingin makan sayur bening buatan mama, atau gangan karuh, sayur katu', rendang super manis, udang goreng sambal merah, bistik, gaguduh pisang, gaguduh tiwadak, dan maaaaasih banyak lagi. Ah, Lia juga pingin makan bubur merdeka-nya Farid, yang di samping pendopo. Dan tentunya, Pa-li-at :9
Bah, maafkan anakmu ini yang tidak mengindikasikan seperti anak-yang-telah-kehilangan-orang-tua-nya. Ya, Lia yakin abah tidak berharap Lia jadi anak yang pemurung ketika abah sudah tiada, tapi kemampuan Lia untuk tetap tertawa, sebenarnya adalah imbas dari hati Lia yang bisa dikatakan sudah sering merasakan sakit. Bukan, ini tidak seperti Lia telah berpacaran berkali-kali dan putus berkali-kali, ada sebuah momen di hidup Lia yang membuat Lia merasa hidup ini begitu hambar, bahkan sampai detik ini.
Karena begitu hambar, mungkin daya absorpsi hati Lia terhadap rasa sakit jadi berkurang. Karena itu, Lia masih dapat tertawa. Tapi, ketika Lia berkonsentrasi terhadap rasa kehilangan Lia atas abah, rasanya hati Lia bagai spons yang diperas dan mengeluarkan banyak cairan kesedihan. Di saat itulah, Lia mampu meneteskan air mata.
Intinya, Lia hanya tidak perlu berlarut dalam kesedihan, kan, Bah? :)
Pembaca yang budiman,
Peluk, peluk kedua orang tuamu jika kamu masih memilikinya. Perbaiki hubunganmu dengan mereka jika kamu sedang bertengkar dengan mereka. Dekatkan dirimu dengan mereka, jika hubunganmu dengan mereka renggang sepertiku. You'll never know how the future will go. Kematian seseorang tidak selalu karena penyakit, kan?
Percayalah, kadang aku merutuki diriku sendiri yang tidak terlalu merasa kehilangan. Mungkin karena faktor aku yang berada di Solo, atau memang karena indra hatiku benar-benar mati. Aku masih bisa makan seperti orang normal, dan bercanda ria dengan teman-teman. Kadang aku merasa, "Kamu ini kenapa?! Bisa-bisanya kamu sedikitpun tidak merasa sedih. Kamu ini, benar sayang sama Abah nggak sih?"
Bah, sekarang ini Lia sedang menyukai seseorang, tapi orang tersebut nampaknya tidak memiliki perasaan yang sama kepada Lia. Yah, untuk urusan asmara putrimu ini bisa terbilang cukup rumit. Sekali putrimu ini menyukai seseorang, rasanya ia enggan melepaskan perasaan tersebut. Bah, jangan marah karena ini, ya? Abah tenang aja, orang itu tidak berada pada satu pulau yang sama dengan Lia sekarang ini. Bah, bagaimana menurut Abah kalau perasaan ini Lia manfaatkan sebagai tameng untuk hati yang lain datang? Jadi Lia setidaknya bisa terhindar dari zina dalam hubungan yang namanya pacaran. Ketika waktunya tiba saat pemilik rusuk ini datang, semoga saja ia adalah pemilik yang tepat, ya, Bah? Semoga pemilik itu merupakan sosok pemilik yang abah restui.
Lia yakin, masih banyak hal juga yang ingin abah lakukan bersama Lia, Mama, Kakak ...
Tapi simpan semua itu untuk nanti, Bah.
Ketika kita sudah berkumpul bersama di alam yang kekal nanti.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rasanya post kali ini kurang terlalu ngena dibanding post sebelumnya.
Maafin, yak, efek UTS (^^ ")
Jadilah, pada Senin, 21 September aku pulang ke Kalimantan. Hari itu, masih saja kusempatkan diri untuk masuk perkuliahan, Kimia Organik dan Biologi Sel. Kemudian, sore hari sekitar pukul 3.30 dibantu oleh Bintang aku pergi ke stasiun kereta api Purwosari. Perjalanan di kereta terbilang sedikit apes karena aku tidak kebagian tempat duduk. Jadilah aku berdiri sambil mendengarkan lagu sembari menghentak-hentakkan kaki seolah anak gegaulan. Oke, lupakan bagian itu.
Setibanya di stasiun Maguwo, aku menunggu senpai-kakak kelasku waktu SMA-ku yang katanya mau mengantar keberangkatanku. Kami sempat berbincang sebentar sebelum aku pergi. Kalau tidak salah, pukul 18.00 aku masuk untuk check in.
Karena aku hanya membawa satu tas ransel, urusan check in ku tidak terlalu lama. Ketika menunggu di ruang tunggu, ada kejadian menarik terjadi. Seperti yang siapa-pun-tahu, bukanlah hal yang mustahil untuk menemukan bule di Bandara Adisujipto. Akupun diam-diam pingin duduk berdekatan dengan bule-dari-manapun-itu. Oke, kalian boleh memanggilku kampungan untuk hal ini. Bukan karena aku ingin berfoto dengan mereka atau apa, tetapi lebih-lebih aku ingin mencoba berbicara dengan mereka untuk mengetahui sejauh apa kemampuan bahasa Inggrisku saat ini. To be honest, aku tidak pernah mengikuti tes TOEFL.
In the end, aku tidak duduk dekat bule barat manapun. Agak kecewa, sih. Tapi, ya sudahlah. Aku pun duduk di salah satu bangku yang masing kosong di kedua sisinya. Kemudian, aku mendengarkan lagu kembali menggunakan headsetku.
Lho, menariknya di mana?
Menariknya, tahu-tahu ada orang yang duduk di belakangku. Mereka bercakap-cakap menggunakan bahasa Jepang. JEPANG! Salah satu negara yang sangat kukagumi, terlebih untuk seorang anime-lovers sepertiku ini. Akupun membalikkan badan ke sumber suara yang ternyata seorang perempuan berumur 40-an. Membuang segala sifat introvertku, aku langsung menyapanya.
"Anoo ... Anata wa Nihon jin desuka?"
Anu, apakah anda orang Jepang?
"Hai. Sou desu."
Ya, itu benar.
"Kyaaaa! -Oke, lebay. Aku tidak benar-benar mengatakan kyaaa! tapi huaaa!- Ureshiiiiii"
Huaaa! Senangnyaaa!
"Watashi wa Nihon daisuki! Anime daisuki!"
Saya sangat menyukai Jepang, (pula) Anime!
Kemudian terjadilah percakapan seorang anak-remaja-dengan-bahasa-jepang-yang-belum-fasih-versus-orang-jepang-yang-nyata-nyata-bahasa-jepangnya-tidak-diragukan-lagi.
Ngebayanginnya?
Ngga usah dibayangin.
Aku sempat bertukar email dengan beliau dan beliau dengan baik hatinya memberiku correction pen atau nama dagangnya tip-x dan pulpen yang-tinta-nya-bisa-dihapus. Iya, bisa dihapus! Kebayang, kan, seorang remaja-dengan-bahasa-jepang-yang-belum-fasih-dengan-mata-berbinar-binar-melihat-pulpen-yang-tintanya-bisa-dihapus.
Nggak kebayang? Nggak papa.
Okamoto Rei-san, nama beliau. Berdua bersama dengan suaminya, Yosuke-san, menjelajah dunia. mereka memperlihatkanku isi paspor mereka dan cap-cap dari berbagai negara pertanda mereka telah berkelana di berbagai negara. Irinya ~
Mereka juga bertanya bagaimana caraku mandi, maksudku, memakai shower atau dengan bak mandi. Cara mereka bertanya cukup unik, Rie-san menggambar bak mandi dan shower di kertas dan bertanya apakah aku menggunakan shower atau bak mandi. Aku menjawab shower, karena aku tidak tahu cara menjelaskan kepada mereka kalau aku mandi dengan ember dan gayung ('-' )>
Aku tidak pulang ke rumahku melainkan kampung halaman Abah, sekitar 1 jam dari rumah. Aku tiba sekitar pukul 3 dini hari. Mama menyambut kedatanganku. Akupun berpelukan dengan beliau.
Aku langsung beristirahat di kamar yang sama dengan Mama. Mama menceritakan kronologi bagaimana detik-detik terakhir Abah sampai Abah menghembuskan nafas terakhirnya. Berulang kali, berulang kali Mama berkata, "Bahkan disaat-saat terakhir, Abah masih mengangkat takbir. Masih mengucap syahadat. Mama salut sama Abah."
Sungguh aku iri kepada keluarga yang bisa berada di sisi beliau ketika saat terakhir Abah. Ketika aku datang, Abah sudah dimakamkan di areal pemakaman yang sama dengan Nenek. Siang harinya (21 September) barulah aku mengunjungi makam Abah. Pamitan dengan beliau sebelum akhirnya aku dan Mama pergi ke Barabai, kampung halaman mama untuk mengunjungi makam-makam keluarga mama. Di Barabai, aku memiliki kakek dari mama yang umurnya sudah terbilang lanjut.
"Mama pingin ketemu kakekmu."
Melelahkan, sungguh. Kau datang dari seberang pulau pukul 3 dini hari, siang harinya habis dzuhur kau pergi menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam ke Barabai kemudian kembali 1,5 jam ke kampung halaman Abah kemudian tambah 1 jam lagi pulang ke rumah. Perlu kutambahkan: di perjalanan kau diselimuti ASAP.
Tak ada sambutan hangat ketika aku membuka pintu rumah. Sambutan hangat yang mengindikasikan kekhawatiran akan kondisi mentalku sehabis ditinggalkan Abah. Yah, bukannya aku menuntut dipeluk satu keluarga, sih. Usai tak menerima sambutan akupun langsung ke kamarku yang sekarang beralih fungsi menjadi kamar kakak ke duaku, Adie.
Bahkan asap pun masuk ke kamarku.
Ya ampun.
Kak Adie menceritakan lagi kronologi ulang kematian Abah. Ia juga menunjukkan video ketika Abah dalam keadaan sekarat. Di dalam video tersebut, ada adegan ketika seluruh keluarga saling memeluk Abah dan IT'S TOTALLY MAKES ME SUPER JEALOUS!
There's so many things that I want to do with you, Dad.
There's so many things you haven't teach me yet.
I want to learn driving car with you, I want you and mom and bro and sis come to Solo and with me, we're traveling around Solo together. I want to take a family picture with you when I graduate on university. I want to be success so I can take you and Mom go to Mecca to do hajj. I want you to be by my side on my wedding. I want you to see child that born from me. I want you to play with them like what you have done with Firas, my sis' daughter. I want you to be here, by my side.
Dear pembaca yang tersesat di blog ini.
Terima kasih telah membaca kronologi perjalananku pulang ke Kalimantan.
Tapi belum, aku belum menyampaikan pesanku.
Sekarang, aku akan menyampaikan pesan yang sesungguhnya dari post ini, tujuan utamaku menulis post ini.
Pembaca yang aku sayangi,
Setiap keluarga pasti memiliki cerita mereka masing-masing, termasuk kamu yang sedang membaca post. Kamu bisa saja masih memiliki orang tua yang lengkap, atau sudah tidak lagi.
Untuk kamu yang terutama masih memiliki orang tua lengkap, let me give you some advice.
Sungguh beruntung dan bersyukurlah untuk kamu, yang masih memiliki orang tua lengkap, hubungannya sangat erat dengan mereka. Seerat, bahkan memiliki grup di LINE atau whatsapp yang isinya keluarga besar kalian. Aku tidak pernah memiliki pengalaman yang seperti itu dengan kedua orang tuaku. Karena itu, bersyukurlah.
Kau ingin mengintip sedikit bagaimana kondisi keluargaku? Mari kuperlihatkan.
Abah dan Mama adalah tipikal orang tua yang tidak terlalu memberikan penjagaan ketat kepada anak-anaknya. Mereka bisa saja menelpon ketika ada anak-anaknya yang belum pulang sampai larut malam, tetapi mereka, kalau boleh dikatakan, selalu ber-positif-thinking terhadap pergaulan anaknya.
Contohnya, ketika aku membawa teman-teman lelakiku ke rumah. Oke, aku tahu even yang kami lakukan adalah belajar bareng. Dan mama, mama sekalu menghidangkan camilan kepada kami. Tetapi, usai teman-temanku itu pulang, mama atau abah tidak pernah bertanya tentang siapa gerangan gerombolan lelaki tersebut. Mama hanya berkata "Belajar bareng, ya tadi?" instead of "Cowok-cowok barusan siapa aja? Kamu nggak pacaran sama salah satu diantara mereka, kan?" meski aku sudah diwanti-wanti agar tidak pacaran sebelum aku lulus kuliah dan bekerja.
Mama dan abah juga memberikan ruang yang longgar. Seperti, oke, ditetapkan jam malam adalah jam 10 WITA. Biasanya, aku akan mendapat panggilan sekitar pukul 9 malam oleh abah yang menanyakan, "Kapan pulang?" Aku akan menjawab, "Sekitar pukul 10." Pada praktiknya, aku pulang pukul 10.30 tetapi abah tak pernah memarahiku atas keterlambatanku.
Mama dan Abah juga memberi ruang kebebasan untuk bertindak. Mungkin prinsipnya, selama tidak merugikan dan tidak melanggar norma-norma, maka sah-sah saja. Contohnya, mungkin ada beberapa di antara kalian yang kalau makan sambil megang HP, kalian akan ditegur untuk main HP nya nanti saja setelah makan. Namun di keluargaku, makan sambil main HP bukanlah hal yang merugikan siapapun jadi sah-sah saja. Tidak pernah aku menerima teguran semacam itu. Bahkan makan di kamarpun, tak ada yang melarang.
Sistem yang mengatur hubungan antar anggota di keluargaku bisa terbilang, sangat simpel.
Hal ini berimbas pada beberapa hal. Kami, anak-anaknya jadi lebih individual. Tak pernah aku curhat sekalipun kepada kakakku yang perempuan apalagi laki-laki tentang apapun. Begitu pula dengan mereka. Begitupula dengan kami, kepada orang tua kami.
Malam terakhir aku berada di rumah sebelum pergi untuk benar-benar menetap di Solo sebagai mahasiswa, aku diminta mama untuk tidur sekamar dengan Abah. Di malam terakhir itu, aku bahkan menciptakan sedikit jarak antara aku dengan Abah. Kini aku menyesal, harusnya kupeluk saja Abah malam itu.
Abah, Lia kadang bertanya-tanya seberapa jauh abah mengenal Lia dan seberapa jauh Lia mengenal abah.
Lia tahu abah suka makan pakai kecap, bahkan mangga sekalipun abah makan pakai kecap, abah suka nonton pertandingan badminton dan tinju, lalu, abah, apa saja yang abah tahu tentang Lia?
Apa abah tahu kalau Lia suka teh yang hambar? Apa abah tahu Lia suka masakan paliat? Apa abah tahu Lia maniak anime?
Abah tentu tidak tahu tentang siapa yang Lia sukai sekarang ini, tapi pernahkan abah berandai-andai apakalah putrimu ini yang tentunya telah menginjak fase remaja-rentan-jatuh-cinta sedang menyukai atau berpacaran dengan seseorang?
Ada banyak, banyak hal yang ingin Lia ceritakan kepada abah.
Bah, Lia di sini baik-baik saja. Lia sehat-sehat saja. Makanan di sekitar kampus murah-murah lho, Bah, tapi tetap Lia kangen masakan banjar, masakan mama. Lia pingin makan sayur bening buatan mama, atau gangan karuh, sayur katu', rendang super manis, udang goreng sambal merah, bistik, gaguduh pisang, gaguduh tiwadak, dan maaaaasih banyak lagi. Ah, Lia juga pingin makan bubur merdeka-nya Farid, yang di samping pendopo. Dan tentunya, Pa-li-at :9
Bah, maafkan anakmu ini yang tidak mengindikasikan seperti anak-yang-telah-kehilangan-orang-tua-nya. Ya, Lia yakin abah tidak berharap Lia jadi anak yang pemurung ketika abah sudah tiada, tapi kemampuan Lia untuk tetap tertawa, sebenarnya adalah imbas dari hati Lia yang bisa dikatakan sudah sering merasakan sakit. Bukan, ini tidak seperti Lia telah berpacaran berkali-kali dan putus berkali-kali, ada sebuah momen di hidup Lia yang membuat Lia merasa hidup ini begitu hambar, bahkan sampai detik ini.
Karena begitu hambar, mungkin daya absorpsi hati Lia terhadap rasa sakit jadi berkurang. Karena itu, Lia masih dapat tertawa. Tapi, ketika Lia berkonsentrasi terhadap rasa kehilangan Lia atas abah, rasanya hati Lia bagai spons yang diperas dan mengeluarkan banyak cairan kesedihan. Di saat itulah, Lia mampu meneteskan air mata.
Intinya, Lia hanya tidak perlu berlarut dalam kesedihan, kan, Bah? :)
Pembaca yang budiman,
Peluk, peluk kedua orang tuamu jika kamu masih memilikinya. Perbaiki hubunganmu dengan mereka jika kamu sedang bertengkar dengan mereka. Dekatkan dirimu dengan mereka, jika hubunganmu dengan mereka renggang sepertiku. You'll never know how the future will go. Kematian seseorang tidak selalu karena penyakit, kan?
Percayalah, kadang aku merutuki diriku sendiri yang tidak terlalu merasa kehilangan. Mungkin karena faktor aku yang berada di Solo, atau memang karena indra hatiku benar-benar mati. Aku masih bisa makan seperti orang normal, dan bercanda ria dengan teman-teman. Kadang aku merasa, "Kamu ini kenapa?! Bisa-bisanya kamu sedikitpun tidak merasa sedih. Kamu ini, benar sayang sama Abah nggak sih?"
Bah, sekarang ini Lia sedang menyukai seseorang, tapi orang tersebut nampaknya tidak memiliki perasaan yang sama kepada Lia. Yah, untuk urusan asmara putrimu ini bisa terbilang cukup rumit. Sekali putrimu ini menyukai seseorang, rasanya ia enggan melepaskan perasaan tersebut. Bah, jangan marah karena ini, ya? Abah tenang aja, orang itu tidak berada pada satu pulau yang sama dengan Lia sekarang ini. Bah, bagaimana menurut Abah kalau perasaan ini Lia manfaatkan sebagai tameng untuk hati yang lain datang? Jadi Lia setidaknya bisa terhindar dari zina dalam hubungan yang namanya pacaran. Ketika waktunya tiba saat pemilik rusuk ini datang, semoga saja ia adalah pemilik yang tepat, ya, Bah? Semoga pemilik itu merupakan sosok pemilik yang abah restui.
Lia yakin, masih banyak hal juga yang ingin abah lakukan bersama Lia, Mama, Kakak ...
Tapi simpan semua itu untuk nanti, Bah.
Ketika kita sudah berkumpul bersama di alam yang kekal nanti.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Rasanya post kali ini kurang terlalu ngena dibanding post sebelumnya.
Maafin, yak, efek UTS (^^ ")
Aku memiliki seorang teman -aku takut menggunakan istilah 'sahabat', kau akan mengerti nanti- yang dalam kehidupan sosialnya ia memakai topeng. Maksudku, bukan "topeng" dalam artian secara harfiah. Tetapi, topeng dalam artian simbolik. Ya, simbol yang pas untuk menganalogikan sosok palsu dari diri orang yang memakainya.
Di sini, aku sama sekali tidak bermaksud membicarakan temanku itu. Tapi, berkat temanku itu, ada sebuah sisi dari dunia yang awalnya gelap mulai terang di mataku. Sisi yang awalnya tak kuperhatikan kini dengan jelas dan dekat berada tepat di hadapanku. Sisi yang -dengan pemikiran di pengamat dunia ini- ingin coba utarakan kepada kalian-kalian, wahai makhluk-makhluk yang tersesat di blog ini.
Pemikiran itu adalah;
Di sini, aku sama sekali tidak bermaksud membicarakan temanku itu. Tapi, berkat temanku itu, ada sebuah sisi dari dunia yang awalnya gelap mulai terang di mataku. Sisi yang awalnya tak kuperhatikan kini dengan jelas dan dekat berada tepat di hadapanku. Sisi yang -dengan pemikiran di pengamat dunia ini- ingin coba utarakan kepada kalian-kalian, wahai makhluk-makhluk yang tersesat di blog ini.
Pemikiran itu adalah;
"Is it wrong to wear mask?"
Kau tahu, dari semua anime-anime yang pernah aku tonton, tak sedikit aku menjumpai karakter-karakter yang sejatinya lain-di-wajah-lain-di-hati. Bahkan aku menemukan anime quotes seperti ini:
Ini menunjukkan, tidak semua orang yang sebenarnya periang atau humoris -itu benar-benar diri mereka yang sesungguhnya. Sometimes, ke-periang-an mereka, ke-humoris-an mereka, itu hanyalah cara mereka untuk berkomunikasi, bersosialisasi -agar memiliki teman. Karena menurut mereka, jika mereka menampilkan diri mereka yang sesungguhnya -diri mereka yang tanpa topeng- kepada dunia, maka ... No one can accept them.
Takkan ada yang mampu menerima mereka.
Misalkan. Sejatinya dirimu adalah seorang yang berkepribadian kasar, suka menyebut kata "Anj*ng lo! Bab* lo! Mony*t lo!" seenak udel, maka tentunya nggak ada yang mau berteman dengan kalian unless telinga mereka tahan-enough untuk menahan kata-kata kasarmu dan hati mereka kuat-enough untuk menganggap kata-kata kasarmu sebagai "Well, hey, it's just-a-joke."
Jadi, dirimu yang kasar ini mulai memakai topeng. Topeng yang menjadikan dirimu orang yang ramah-tamah-sopan-santun-dan-berbudi-luhur. Kamu pun menjadi memiliki banyak "teman" dan "sahabat" berkat topeng ini. Namun,bagaimanapun, nanti, pasti,
Akan ada waktu di mana
There are times ...
Ketika dirimu yang sesungguhnya
When the real you ...
Memberontak di dalam dirimu
Rebel inside of you
Dan mencoba naik ke permukaan
And try to rise to surface.
Ya. Memakai topeng itu melelahkan. Bahkan memakai topeng yang dalam artian harfiah pun, pasti juga melelahkan. Ada waktu di mana kau ingin melepasnya, barang untuk sejenak. Sejenak untuk mengelap keringat bercucuran yang tersembunyi di balik topengmu. Sejenak untuk melepaskan rasa panas yang muncul akibat terlalu lama memakai topengmu. Sejenak untuk istirahat, dari duniamu yang palsu dan beralih kepada dirimu yang sebenarnya.
Tapi saat itu terjadi, kau harus berhati-hati. Kau harus bersembunyi untuk melepasnya agar tidak ada yang mengetahui dirimu yang sesungguhnya. Kau berlari, dan berlari. Sedang orang yang memanggil dirimu "sahabat" mulai mencari.
"Hey! Di mana kau! Tunjukkan dirimu!"
Lalu secara kebetulan dia mencium letak keberadaanmu.
"Tidak! Jangan kemari! Aku tidak ingin kau melihatku!"
Dia menjawab, "Mengapa? Aku tidak masalah dengan bagaimana dirimu. Aku adalah sahabatmu, kau ingat?"
"Tidak! Kau tidak mengerti! Kau takkan mampu menahannya?"
"Percayalah padaku! Aku sahabatmu! Kau bisa menunjukkan dirimu apa adanya padaku."
"Tapi ..."
"Aku sahabatmu, bukan? Percayalah. Kumohon. Aku tak ingin kau menanggungnya sendiri."
"Aku ... selama ini aku memakai topeng dan sekarang aku melepaskan topeng itu. Apa tak apa bagiku muncul di hadapanmu tanpa topeng itu? Aku, aku takut kau lari. Aku takut kau pergi."
"Tak ada yang perlu ditakutkan. Aku takkan pergi, takkan lari. Karena itu, keluarlah. Kau tahu, seperti kata orang, just be yourself."
Dengan langkah ragu, kau berjalan keluar dari persembunyian dengan wajah tertunduk dengan topeng di tangan kananmu. Lalu perlahan, kau mengangkat wajahmu, perlahan, hingga kau dapat melihat wajah orang yang memanggil dirimu "sahabatnya".
Kaupun dapat menatap wajahnya.
Maksudku, wajah-ketakutan-nya.
Ya, orang yang menyebutmu "sahabatnya" barusan, kemudian lari dan pergi. Meninggalkanmu dengan kata-kata seperti "percaya", "aku sahabatmu", dan yang lebih bullshit lagi, "just be yourself".
Lalu, setelah beberapa waktu berselang, orang itu kembali padamu. Ia meminta maaf dan ingin menjadi sahabatmu kembali. Namun, luka telah teriris dan irisan itu telah meninggalkan bekas. Kau sebenarnya bisa saja memaafkannya atas dirinya yang pergi namun untuk menerimanya kembali, kau lebih seperti "learn from the past". Ya, kau sudah belajar dari kejadian itu karena itu kau tidak ingin membuka topeng itu lagi, kepada orang yang memanggilmu "sahabatnya" lagi.
Lihat? Betapa quotes "Just be yourself" bisa jadi quotes mematikan dan menyakitkan instead of beautiful? Tidak, tidak. Bukan quotes-nya yang salah tetapi orang yang mengatakannya, yang mengatakannya secara seenak udel, berlandas kata sahabat atau orang terdekat, tanpa benar-benar mengerti keadaan yang sesungguhnya.
Wahai pengunjung blog yang tersesat,
Apakah dirimu salah satu dari pemakai topeng itu?
Maukah kau mendengar teoriku tentang para pemakai topeng?
Menurutku, ada dua tipe pemakai topeng di dunia ini.
Yang pertama, orang yang benar-benar lain-di-wajah-lain-di-hati.
Yang kedua, orang yang memang, lain-di-wajah-namun-menikmatinya-di-hati.
Menjadi orang yang baik, tentu tidaklah mudah. Apalagi jika dirimu yang sesungguhnya dihiasi begitu banyak kegelapan yang sangat bertentangan dengan sikap baik. Iri, dengki, benci, emosian, kasar, khianat, sensitif, matre, dll. adalah -mari kita menyebutnya- emosi gelap yang bisa saja ada pada setiap makhluk yang bernama manusia. Kadang emosi gelap itu hanya bersifat sementara dalam diri manusia -datang pada terms and conditions tertentu- namun ada juga yang memelihara-nya.
Bagi orang-orang yang sengaja ataupun tidak sengaja memelihara emosi gelap itu, tentu dia memiliki trouble terhadap dunia sosialisasinya karena tidak semua orang dapat menerimanya. Lalu dia memakai topeng, dan kebanyakan, mereka merutuki diri mereka sendiri karena mereka memakai topeng. Mereka merasa diri mereka dipenuhi kepalsuan.
Oke. By the way, maksudku yang sengaja-atau-tidak-memelihara itu misalkan seperti ini.
- Kau terlahir di keluarga yang ayah dan ibumu suka bertengkar. Setiap hari kata-kata kasar adalah sarapan, makan siang, dan makan malam telingamu. Lama-lama, kau pun menjadi orang yang kasar. Ini dinamakan tidak sengaja.
- Kau berkata kasar dan menurutmu itu menyenangkan dan sesuai dengan dirimu. Lalu kau membiasakan diri berkata kasar hingga menjadi orang kasar. Ini dinamakan sengaja.
Kembali ke pertanyaan pertamaku;
"Is it wrong to wear mask?"
Menurutku tidak ada salahnya memakai topeng, jika kau adalah pemakai topeng tipe kedua,
orang yang memang, lain-di-wajah-namun-menikmatinya-di-hati. Biar kujelaskan sedikit tentang tipe ini. Pemakai topeng tipe kedua adalah orang yang memiliki kegelapan di dalam dirinya dan menyembunyikannya lewat topeng. Saat dia memakai topeng, ia memiliki banyak teman dan sahabat, ia merasakan kebahagiaan, ia tertawa, ia tersenyum. Hai-para-pemakai-topeng-tipe-kedua, pikirkan lagi! Berpikirlah seperti ini;
orang yang memang, lain-di-wajah-namun-menikmatinya-di-hati. Biar kujelaskan sedikit tentang tipe ini. Pemakai topeng tipe kedua adalah orang yang memiliki kegelapan di dalam dirinya dan menyembunyikannya lewat topeng. Saat dia memakai topeng, ia memiliki banyak teman dan sahabat, ia merasakan kebahagiaan, ia tertawa, ia tersenyum. Hai-para-pemakai-topeng-tipe-kedua, pikirkan lagi! Berpikirlah seperti ini;
Kebahagiaan yang kau rasakan itu nyata! Senyum yang terukir di bibirmu juga nyata!
Jika kebahagiaan yang kau rasakan selama kau memakai topeng menjadi memori yang dapat kau kenang diingatanmu, maka itu NYATA! BUKAN PALSU!
Karena itu, jangan merutuki dirimu sebagai orang yang dipenuhi kepalsuan. Jika kau memang menikmati kebahagiaan itu, menikmati waktu bersama orang-orang itu, tidak ingin melepaskan mereka, maka itu adalah sesuatu yang NYATA. Jadi, tak apa memakai topeng. Topeng itu takkan membunuhmu. Jangan sebut dirimu palsu, sebut dirimu beradaptasi. Karena ini adalah kenyataan yang semua manusia harus terima; dunia tidak akan menjadi apa yang kau inginkan, tapi kita yang harus menyesuaikan diri terhadap dunia. Jika menjadi baik padahal dirimu -kau rasa- buruk kau sebut dengan memakai topeng, maka ada jutaan bahkan ribuan orang di luar sana yang sama sepertimu. Jika dunia menerima orang-orang ramah, maka jadilah orang ramah.
"Tidak bisa! Aku ini orang yang kasar!"
KALAU BEGITU KASARLAH PADA TEMPATNYA!
Manusia itu adalah hitam dan putih. Jika kau merasa kalau kau adalah orang yang buruk, sebenarnya kau hanya terlalu berkonsentrasi pada hitam yang ada pada dirimu. Cari, carilah bagian putih dalam dirimu! Lihat gambar di bawah ini.
Apa yang kau lihat?
Titik hitam?
SALAH!
Ini adalah bidang berwarna putih.
See? Kau hanya terpaku pada titik hitam padahal masih banyak bagian putih yang jauh lebih besar dibanding titik hitam itu. Jangan terpaku pada kegelapan dirimu! Kau juga memiliki warna putih yang selama ini, hanya kau abaikan!
Carilah, dan kau akan mengerti, bahwa selama ini kau tidak memakai topeng apa-apa.
Daaaaaaaaaaaaan ... mari kita masuk ke tipe yang pertama sekaligus tipe tersulit.
Tipe benar-benar lain-di-wajah-lain-di-hati.
Seperti tipe kedua, tipe pertama juga menyembunyikan kegelapan dirinya melalui topeng. Bedanya, pada setiap momen-yang-terlihat-membahagiakan yang harusnya ia rasakan, ia tidak merasakan apa-apa. Ia bahkan tidak menikmati sedikitpun kebahagiaan tersebut. Lebih-lebih seperti ...
Sebenarnya apa yang mereka tertawakan? Apa yang lucu dari itu?
Para pemakai topeng tipe pertama mungkin menganggap, topeng sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Tanpa topeng, mereka akan sendirian. Meski mereka tidak mampu merasakan canda dan tawa -rasa bahagia- yang diciptakan orang-orang disekelilingnya, setidaknya mereka tidak -terlihat- sendirian. Mereka tidak ingin menjadi orang yang sendirian nan menyedihkan.
Aku yakin, para tipe pertama sadar dan tahu bahwa dunia tak bisa menjadi apa yang mereka inginkan seenaknya. Karena itu, demi beradaptasi dengan dunia, mereka memakai topeng. Namun jauh di lubuk hati mereka, mereka masih berharap bahwa suatu saat nanti akan ada orang yang mampu mengerti dan menerima mereka apa adanya. Menerima kegelapan mereka tanpa harus mereka sembunyikan.
Aku sendiri tidak yakin solusi apa yang dapat kuberikan pada postinganku ini untuk para pemakai topeng tipe pertama. Niatku dalam menulis postingan ini kutujukan kepada seluruh pemakai topeng di dunia, bahwa aku ingin mereka tidak merutuki kehidupan mereka yang memakai topeng itu. Aku tidak ingin mereka mengganggap diri mereka buruk. Aku tidak ingin mereka terus menganggap diri mereka berada dalam kepalsuan meskipun memang benar adanya. Andai aku memiliki kekuatan, aku ingin mengeluarkan semua kata "palsu" dalam pikiran mereka. Aku ingin memberikan mereka sesuatu yang nyata. Kebahagiaan yang nyata. Namun, apa yang dapat kulakukan hanyalah menuliskan pemikiranku di sini, di blog ini.
Apa aku terlalu naif ... berpikir bahwa aku mampu menyelamatkan mereka?
Pada akhirnya, semanjur apapun sebuah obat, kalau tidak diminum oleh penderitanya, ia takkan sembuh.
Ya, sebagus apapun aku mampu membuat mereka berpikir ulang tentang diri mereka melalui postingan ini, jika tidak mereka sendiri yang memutuskan, maka takkan ada gunanya.
Smile ... 'till it hurts.
Apa kau benar-benar ingin begitu?
Setiap manusia mungkin memiliki basic (misal) tidak sabaran, tapi tidak menutup kemungkinan mereka suatu saat bisa menjadi orang yang sangat-sangat sabar. Intinya, selama kau mau, kau bisa berubah! Berubah bukan berarti mengubah siapa-dirimu. Bukan berarti membuatmu palsu. Tetapi berubah membuatmu menjadi lebih baik!
There are only two path you can choose.
You can sit quietly and be selected out of this world,
or you can adapt and change!
-Gai Tsutsugami [Guilty Crown]
Dan tujuan lain untukku menulis postingan ini adalah, hanya karena kau berteman atau bersahabat selama bertahun-tahun, bukan berarti kau telah memiliki hak untuk mengetahui sisi lain dari diri orang lain. Maksudku, seperti "Ayolah, katakan saja padaku. Kita sudah bersahabat selama 10 tahun, kan? Kau dapat mempercayaiku." Hak itu baru didapat jika kau benar-benar siap untuk melihatnya, untuk mencernanya di pikiranmu, lalu menerimanya. Sampai kau benar-benar menjadi orang yang seperti itu, orang yang takkan lari, kurasa kau tidak perlu ikut campur sisi lain kehidupan seseorang. Jika kau hanya berujung lari, kau tak tahu rasa sakit, kecewa, serta trauma apa yang akan muncul sebagai dampak memperlihatkan sisi mereka tersebut kepadamu.
Hanya karena kau biasa menjadi tempat curhat oleh teman-temanmu, bukan berarti kau orang bijak yang mampu menyelesaikan semua masalah uneg-uneg semua orang.
Terkadang, ada hal yang ingin disembunyikan oleh seseorang, bahkan dari orang terdekatnya sekalipun.
Karena itu, hargai.
Yaaaaaaaaaaaaah ... mungkin inilah penghujung long-post-ku kali ini. Untuk para pemakai topeng, sekali lagi semua yang kutulis di atas adalah teoriku, pandanganku. Mungkin di luar sana, masih ada tipe-tipe pemakai topeng lainnya, namun yang berhasil aku discover baru dua diantaranya. Itupun belum tentu tepat dengan keadaan yang kalian rasakan. Namun, tetap saja, aku harap pemikiran ini mampu membawa cahaya barang setitik di hati dan pikiran kalian. Semoga post kali ini bermanfaat untuk kita semua. Amiiiin.
Sampai jumpa di post berikutnya!
Aku yakin, para tipe pertama sadar dan tahu bahwa dunia tak bisa menjadi apa yang mereka inginkan seenaknya. Karena itu, demi beradaptasi dengan dunia, mereka memakai topeng. Namun jauh di lubuk hati mereka, mereka masih berharap bahwa suatu saat nanti akan ada orang yang mampu mengerti dan menerima mereka apa adanya. Menerima kegelapan mereka tanpa harus mereka sembunyikan.
Aku sendiri tidak yakin solusi apa yang dapat kuberikan pada postinganku ini untuk para pemakai topeng tipe pertama. Niatku dalam menulis postingan ini kutujukan kepada seluruh pemakai topeng di dunia, bahwa aku ingin mereka tidak merutuki kehidupan mereka yang memakai topeng itu. Aku tidak ingin mereka mengganggap diri mereka buruk. Aku tidak ingin mereka terus menganggap diri mereka berada dalam kepalsuan meskipun memang benar adanya. Andai aku memiliki kekuatan, aku ingin mengeluarkan semua kata "palsu" dalam pikiran mereka. Aku ingin memberikan mereka sesuatu yang nyata. Kebahagiaan yang nyata. Namun, apa yang dapat kulakukan hanyalah menuliskan pemikiranku di sini, di blog ini.
Apa aku terlalu naif ... berpikir bahwa aku mampu menyelamatkan mereka?
Pada akhirnya, semanjur apapun sebuah obat, kalau tidak diminum oleh penderitanya, ia takkan sembuh.
Ya, sebagus apapun aku mampu membuat mereka berpikir ulang tentang diri mereka melalui postingan ini, jika tidak mereka sendiri yang memutuskan, maka takkan ada gunanya.
Smile ... 'till it hurts.
Apa kau benar-benar ingin begitu?
Setiap manusia mungkin memiliki basic (misal) tidak sabaran, tapi tidak menutup kemungkinan mereka suatu saat bisa menjadi orang yang sangat-sangat sabar. Intinya, selama kau mau, kau bisa berubah! Berubah bukan berarti mengubah siapa-dirimu. Bukan berarti membuatmu palsu. Tetapi berubah membuatmu menjadi lebih baik!
There are only two path you can choose.
You can sit quietly and be selected out of this world,
or you can adapt and change!
-Gai Tsutsugami [Guilty Crown]
Dan tujuan lain untukku menulis postingan ini adalah, hanya karena kau berteman atau bersahabat selama bertahun-tahun, bukan berarti kau telah memiliki hak untuk mengetahui sisi lain dari diri orang lain. Maksudku, seperti "Ayolah, katakan saja padaku. Kita sudah bersahabat selama 10 tahun, kan? Kau dapat mempercayaiku." Hak itu baru didapat jika kau benar-benar siap untuk melihatnya, untuk mencernanya di pikiranmu, lalu menerimanya. Sampai kau benar-benar menjadi orang yang seperti itu, orang yang takkan lari, kurasa kau tidak perlu ikut campur sisi lain kehidupan seseorang. Jika kau hanya berujung lari, kau tak tahu rasa sakit, kecewa, serta trauma apa yang akan muncul sebagai dampak memperlihatkan sisi mereka tersebut kepadamu.
Hanya karena kau biasa menjadi tempat curhat oleh teman-temanmu, bukan berarti kau orang bijak yang mampu menyelesaikan semua masalah uneg-uneg semua orang.
Terkadang, ada hal yang ingin disembunyikan oleh seseorang, bahkan dari orang terdekatnya sekalipun.
Karena itu, hargai.
Yaaaaaaaaaaaaah ... mungkin inilah penghujung long-post-ku kali ini. Untuk para pemakai topeng, sekali lagi semua yang kutulis di atas adalah teoriku, pandanganku. Mungkin di luar sana, masih ada tipe-tipe pemakai topeng lainnya, namun yang berhasil aku discover baru dua diantaranya. Itupun belum tentu tepat dengan keadaan yang kalian rasakan. Namun, tetap saja, aku harap pemikiran ini mampu membawa cahaya barang setitik di hati dan pikiran kalian. Semoga post kali ini bermanfaat untuk kita semua. Amiiiin.
Sampai jumpa di post berikutnya!
Ya-haloooooooooo !!!
Youkoso! Ketemu lagi di aau-chan.blogspot.com
Youkoso! Ketemu lagi di aau-chan.blogspot.com
Mungkin ada dari kalian yang bertanya –mungkin juga tidak-
apa sih maksud dari “seorang pengamat dunia” yang tercantum di bawah nama
blogku. Kuakui memang rasanya lancang dan terlalu sombong mungkin menobatkan
diri sendiri sebagai seorang pengamat dunia. Namun aku tidak memiliki istilah
lain yang menurutku pas untuk menggambarkan sifatku ini. Karena itu, kupilihlah
gelar “seorang pengamat dunia” untukku sendiri.
Pengamat dunia. Aku tidak sehebat yang kalian bayangkan. Aku
bukan pengamat perekonomian, sosial, hukum, budaya, keagamaan, dll. dalam satu
waktu. Aku hanya seorang pengamat kejadian di dunia. Masih beberapa, belum
semuanya. Karena itu postingan blogku sedikit aku tidaklah sehebat yang kau pikirkan. Fokus
utamaku adalah masalah sosial yang erat hubungannya dengan interaksi. Landasan
utamaku adalah perasaan dan tujuan utamaku menulis blog ini adalah
memperlihatkan sudut pandangku kepada dunia
(baca: orang-orang yang tersesat di blogku). Meskipun, ada beberapa postingan
yang isinya hanyalah curahan hati.
Bagaimana caraku mengamati dunia?
Aku tidak mengamati dunia secara langsung. Pengamatan duniaku
timbul berdasarkan fakta-fakta yang muncul di depanku lalu otakku memikirkan
sebuah kesimpulan berdasarkan sudut pandangku sebagai seorang Aulia. Misalnya,
kita tahu di Indonesia ini banyak pengemis. Mungkin bagi sebagian orang ketika
didatangi pengemis, mereka akan merasa terganggu lalu pergi. Ada pula yang
merasa kasihan dan memberi barang serebu. Mungkin juga ada yang mengumpat di
dalam hati seperti, “Ih, malesin deh. Bisanya cuma minta-minta doang. Usaha,
dong!” Namun apa yang kupikirkan ketika melihat pengemis adalah;
“Kira-kira, seperti apa masa kecil mereka,
ya?”
Loh, kok malah lari ke masa kecil?
Iya, masa kecil. Pengemis biasanya berjalan kesana kemari
dengan raut yang tentunya mengundang rasa simpati. Jarang aku melihat ada
pengemis yang tersenyum. Namun pengemis juga manusia. Mereka juga pernah
mengecam status sebagai bayi, anak kecil, abege, abege labil, remaja, dewasa,
dan insya Allah tua. Aku bertanya-tanya pernahkah mereka, salah satu atau salah
dua dari mereka, duduk dan termenung lalu memikirkan masa kecil mereka?
Maksudku, anggap saja mereka sedang rehat dari aktivitas minta-minta mereka,
mereka duduk di suatu tempat dan minum. Memandang langit biru yang cerah dan
flashback ke masa lalu mereka. Flashback seperti,
“Ah, waktu aku kecil dulu,
jam segini main kelereng sama yang lain.”
“Ah, jam segini makan siang rame-rame walau lauk seadanya.”
“Ah, jam segini waktunya main petak umpet atau lompat tali.”
“Ah, bisakah aku kembali ke masa kecilku dulu? Masa di mana
aku tidak perlu mengkhawatirkan makan apa aku hari ini, atau berapa perolehan
uang yang kudapat hari ini, atau cacian apa lagi yang akan kudapat nanti …”
Mereka juga pernah tertawa. Mereka juga pernah bermain. Namun
mereka berada di masa depan yang tentunya tak seorangpun mau merasakannya.
Namun kebanyakan orang merendahkan mereka, menyuruh mereka berusaha namun tak
ada seorangpun yang memfasilitasi mereka. Berusaha, berusaha bagaimana?
Berusaha bagaimana yang mereka maksud?
Just please, shut your mouth.
Nah, kira-kira seperti itu. Aku sering memikirkan hal-hal
yang jarang dipikirkan oleh orang lain. Dan menurutku, ini unik. Karena suatu
masalah harus diselesaikan dalam menampilkan berbagai sudut pandang. Jika kau
menilai orang yang membawa kotak rokok di dalam tasnya adalah seorang perokok,
maka kau mungkin harus menonton film The
Fault in Our Stars dan lihat bagaimana August menjepit rokok di mulutnya
(hanya menjepit, bukan menyalakannya), lalu Hazel mengira August adalah seorang
perokok jadi ia marah kepada August, namun akhirnya August bisa menjelaskan
bahwa itu hanya perumpamaan. Dia tidak benar-benar merokok.
Aku yakin, bukan hanya aku yang sering berpikiran seperti
ini. Jauh di luar sana, mungkin kalian yang tersesat di blog ini juga sering
berpikir demikian. Jadi …
Apa kau juga seorang pengamat dunia … sepertiku?
Kemarin, aku baru sadar bahwa followerku di instagram berkurang satu. Kemarin juga aku baru sadar bahwa kontak di BBM berkurang satu sehingga jumlah grup kontak Ichiban no Tomodachi tersisa 8. Dan kemarin aku juga ter-sadar bahwa aku kehilangan seorang sahabat.
Some feeling could be come true.
Sekilas info, aku ini termasuk cewek yang feelingnya lumayan works. Apalagi feeling nggak enak bertema kehilangan. Akan kuceritakan padamu beberapa cerita yang based on true story tentangku, dan feeling-kehilangan-ku.
Dulu, aku punya kucing yang mama beri nama Tuning karena warnanya kuning. FYI, Mama selalu memberi nama Tuning untuk semua kucing kuning di dunia yang mama jumpai. Suatu hari, aku yang berada di ruang tamu memandang ke pelataran rumahku dan mendapati Tuning sedang berjalan mengikuti gebetannya. Tiba-tiba aku merasakan feeling aneh. Aku berpikiran, "Bawa masuk aja kali, ye, si Tuning." Tapi di sisi lain aku juga berpikir "Ah, entar ngeganggu dia lagi PDKT sama ntu kucing. Biarin aja deh."
"Tapi kok aku ngerasa nggak enak ya."
"Ini pertanda apa."
"Apa ini cuma dilema?"
Hitung menghitung timbang menimbang, pada akhirnya aku hanya membiarkan si Tuning pergi. Keesokan harinya, si Tuning tidak datang ke rumahku lagi. Hari-hari selanjutnya pun demikian. Kabar yang aku dapatkan kemudian, Tuning telah tewas ditabrak motor.
Masih tentang kucing, mari kukenalkan padamu Tuning Part II. Sudah beberapa tahun terakhir keluargaku tidak memelihara kucing lagi. Namun, terkadang ada saat dimana ada kucing tetangga yang ngeloyor main ke rumah. Kalau kucingnya cakep, kami ajak main dan kasih makan. Kalau kucingnya kotor kami usir. Tapi jarang sih ada kucing kotor masuk, biasanya cakep semua. Nah, si Tuning Part II ini adalah kucing tetangga seberang yang mama pinjem dan bawa ke rumah pulang dari mesjid. Tuning Pt.II ini menjadi primadona karena badannya yang super gendut. Kekurangannya adalah karena Tuning Pt.II suka berkelahi, maka wajahnya full of luka. Tapi kami tetap sayang Tuning Pt.II, kami kasih makan kami ajak main. Dan akhirnya Tuning Pt.II pun jadi sering main ke rumah, bahkan ampe nginep selama bermalam-malam.
Suatu siang ketika aku ingin pergi, Tuning Pt.II berbaring di dekat pintu. Aku mendapat feeling aneh yang membujukku untuk membawanya masuk ke rumah. Namun dilema selalu terjadi. "Ah, dia udah PW gitu masa aku angkat." Lalu itulah menjadi pembelaan terakhirku hingga akhirnya aku tak pernah melihatnya lagi. Kabar yang kami dapatkan Tuning Pt.II juga tewas ditabrak motor.
Dan terhadap orang yang meng-unfollow, mendelcon, dan pergi dari hidupku kemarin, aku juga sempat merasakan feeling yang sama. Pada saat acara pengukuhan, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengannya. Ia bahkan rada-rada enggan berfoto denganku. Kami hanya berfoto satu kali, dan itupun menggunakan kameranya. Aku tak pernah tahu bagaimana hasil fotonya. Padahal aku sangat senang sekali melihatnya mengingat aku mendengar rumor bahwa dia tidak akan datang dikarenakan harus pergi ke Banjarmasin.
Boku wa Tomodachi ga Sukunai NEXT eps. 8
Ya, menyedihkan saat seseorang menghilang dari hidupmu tanpa memberitahu.
Apalagi orang yang kau anggap sahabat.
Bukan cuma sahabat, tapi sahabat nomor 1.
Sahabat, yang katanya orang yang ada untukmu walau 1001 orang pergi meninggalkanmu.
Apa aku telah keliru dalam mendefinisikan arti kata "sahabat"?
Tidak aku tidak keliru.
Hanya saja di sini aku ... yang ditinggalkan.
Kalau kureview ulang kilas balik dunia persahabatanku, aku memang tak pernah becus dalam bersahabat. Saat aku kecil, aku bersahabat dengan 3 orang tetanggaku tapi kini kami sudah tidak akrab lagi (kami beda umur dan sekolah yang berbeda memisahkan kami). Saat aku SD, aku pernah dimusuhi oleh teman-teman sekelasku. Saat aku SMP, aku kembali dimusuhi oleh teman-teman sekelasku. Dan ketika aku SMA, aku kehilangan sahabat yang sangat berarti untukku.
Aku ini ... payah, bukan?
Dimusuhi satu kelas bukannya tidak membawa dampak apa-apa bagiku. Aku sempat menjadi orang yang "sahabat? Aku tidak peduli apa itu sahabat. Mereka hanya orang yang datang padamu lalu ketika kau sakiti mereka membuat komplotan dan bersatu memusuhimu."
Aku pernah berpikir untuk menjadi orang yang berdiri dengan kedua kakiku sendiri. Berjalan tanpa ada yang menemani. Tersenyum untuk berpura-pura mengerti. Tertawa untuk pura-pura menikmati. Aku pernah menjadi orang yang super palsu. Super muka dua. Tapi saat kutemukan manusia-manusia yang kemudian dengan beraninya aku mencap mereka sahabat dan kukategorikan mereka dalam Ichiban no Tomodachi, kutemukan diriku lepas dari segala kepalsuan.
Aku adalah Aulia yang sebenarnya ketika aku bersama mereka. Tak ada keraguan untukku untuk tertawa keras. Untuk tersenyum pada hal yang benar-benar kunikmati. Untuk menjadi aneh dan absurd. Kutemukan diriku yang sesungguhnya bersama mereka karena itu ...
karena itu aku berani ...
mencap mereka sebagai ...
sahabat.
Pada akhirnya it makes nonsense. Aku tak dapat menutup kemungkinan suatu hari salah satu atau semua dari mereka akan meninggalkanku.
Dampak apa yang kudapatkan usai peristiwa kehilangan yang entah keberapakalinya ini?
Yah, aku mulai berpikir untuk menjadi sosok yang baru. Sosok yang independen. Aku tidak akan terjebak dalam klise persahabatan karena mau itu sejati atau tidak, seseorang masih dapat datang dan pergi darimu.
Aku akan menjadi orang yang bebas berteman dan mandiri dari teman. Aku tidak akan bergantung pada kebahagiaan yang hanya bisa didapatkan bersama teman tapi aku akan mencari kebahagiaanku sendiri. Aku akan menonton anime, drama korea, bertarung dengan diriku sendiri untuk mencapai puncak impianku selama ini, dan berinteraksi dengan dunia luar seperlunya saja.
Mungkin kau akan menilaiku terjatuh dalam sisi gelap. Namun percayalah, aku tidak berada di sisi manapun. Tidak di dalam sisi terang, atau sisi gelap. Aku mencampur kedua sisi itu dan menciptakan sisiku sendiri. Sisi kelabu -mari kita menyebutnya begitu.
Bagaimana dunia sisi kelabu ini? Sisi kelabu adalah dunia yang terlihat sangat labil, namun sebenarnya dunia yang sangat fleksibel. Karena penghuninya mampu menyesuaikan diri dengan penghuni sisi terang dan gelap tanpa menjadi bagian dari kedua sisi yang saling bertolak belakang. Namun sayang, kelemahan dari para penghuni sisi kelabu adalah ...
Some feeling could be come true.
Sekilas info, aku ini termasuk cewek yang feelingnya lumayan works. Apalagi feeling nggak enak bertema kehilangan. Akan kuceritakan padamu beberapa cerita yang based on true story tentangku, dan feeling-kehilangan-ku.
Dulu, aku punya kucing yang mama beri nama Tuning karena warnanya kuning. FYI, Mama selalu memberi nama Tuning untuk semua kucing kuning di dunia yang mama jumpai. Suatu hari, aku yang berada di ruang tamu memandang ke pelataran rumahku dan mendapati Tuning sedang berjalan mengikuti gebetannya. Tiba-tiba aku merasakan feeling aneh. Aku berpikiran, "Bawa masuk aja kali, ye, si Tuning." Tapi di sisi lain aku juga berpikir "Ah, entar ngeganggu dia lagi PDKT sama ntu kucing. Biarin aja deh."
"Tapi kok aku ngerasa nggak enak ya."
"Ini pertanda apa."
"Apa ini cuma dilema?"
Hitung menghitung timbang menimbang, pada akhirnya aku hanya membiarkan si Tuning pergi. Keesokan harinya, si Tuning tidak datang ke rumahku lagi. Hari-hari selanjutnya pun demikian. Kabar yang aku dapatkan kemudian, Tuning telah tewas ditabrak motor.
Masih tentang kucing, mari kukenalkan padamu Tuning Part II. Sudah beberapa tahun terakhir keluargaku tidak memelihara kucing lagi. Namun, terkadang ada saat dimana ada kucing tetangga yang ngeloyor main ke rumah. Kalau kucingnya cakep, kami ajak main dan kasih makan. Kalau kucingnya kotor kami usir. Tapi jarang sih ada kucing kotor masuk, biasanya cakep semua. Nah, si Tuning Part II ini adalah kucing tetangga seberang yang mama pinjem dan bawa ke rumah pulang dari mesjid. Tuning Pt.II ini menjadi primadona karena badannya yang super gendut. Kekurangannya adalah karena Tuning Pt.II suka berkelahi, maka wajahnya full of luka. Tapi kami tetap sayang Tuning Pt.II, kami kasih makan kami ajak main. Dan akhirnya Tuning Pt.II pun jadi sering main ke rumah, bahkan ampe nginep selama bermalam-malam.
Suatu siang ketika aku ingin pergi, Tuning Pt.II berbaring di dekat pintu. Aku mendapat feeling aneh yang membujukku untuk membawanya masuk ke rumah. Namun dilema selalu terjadi. "Ah, dia udah PW gitu masa aku angkat." Lalu itulah menjadi pembelaan terakhirku hingga akhirnya aku tak pernah melihatnya lagi. Kabar yang kami dapatkan Tuning Pt.II juga tewas ditabrak motor.
Dan terhadap orang yang meng-unfollow, mendelcon, dan pergi dari hidupku kemarin, aku juga sempat merasakan feeling yang sama. Pada saat acara pengukuhan, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengannya. Ia bahkan rada-rada enggan berfoto denganku. Kami hanya berfoto satu kali, dan itupun menggunakan kameranya. Aku tak pernah tahu bagaimana hasil fotonya. Padahal aku sangat senang sekali melihatnya mengingat aku mendengar rumor bahwa dia tidak akan datang dikarenakan harus pergi ke Banjarmasin.
Boku wa Tomodachi ga Sukunai NEXT eps. 8
Ya, menyedihkan saat seseorang menghilang dari hidupmu tanpa memberitahu.
Apalagi orang yang kau anggap sahabat.
Bukan cuma sahabat, tapi sahabat nomor 1.
Sahabat, yang katanya orang yang ada untukmu walau 1001 orang pergi meninggalkanmu.
Apa aku telah keliru dalam mendefinisikan arti kata "sahabat"?
Tidak aku tidak keliru.
Hanya saja di sini aku ... yang ditinggalkan.
Kalau kureview ulang kilas balik dunia persahabatanku, aku memang tak pernah becus dalam bersahabat. Saat aku kecil, aku bersahabat dengan 3 orang tetanggaku tapi kini kami sudah tidak akrab lagi (kami beda umur dan sekolah yang berbeda memisahkan kami). Saat aku SD, aku pernah dimusuhi oleh teman-teman sekelasku. Saat aku SMP, aku kembali dimusuhi oleh teman-teman sekelasku. Dan ketika aku SMA, aku kehilangan sahabat yang sangat berarti untukku.
Aku ini ... payah, bukan?
Dimusuhi satu kelas bukannya tidak membawa dampak apa-apa bagiku. Aku sempat menjadi orang yang "sahabat? Aku tidak peduli apa itu sahabat. Mereka hanya orang yang datang padamu lalu ketika kau sakiti mereka membuat komplotan dan bersatu memusuhimu."
Aku pernah berpikir untuk menjadi orang yang berdiri dengan kedua kakiku sendiri. Berjalan tanpa ada yang menemani. Tersenyum untuk berpura-pura mengerti. Tertawa untuk pura-pura menikmati. Aku pernah menjadi orang yang super palsu. Super muka dua. Tapi saat kutemukan manusia-manusia yang kemudian dengan beraninya aku mencap mereka sahabat dan kukategorikan mereka dalam Ichiban no Tomodachi, kutemukan diriku lepas dari segala kepalsuan.
Aku adalah Aulia yang sebenarnya ketika aku bersama mereka. Tak ada keraguan untukku untuk tertawa keras. Untuk tersenyum pada hal yang benar-benar kunikmati. Untuk menjadi aneh dan absurd. Kutemukan diriku yang sesungguhnya bersama mereka karena itu ...
karena itu aku berani ...
mencap mereka sebagai ...
sahabat.
Pada akhirnya it makes nonsense. Aku tak dapat menutup kemungkinan suatu hari salah satu atau semua dari mereka akan meninggalkanku.
Dampak apa yang kudapatkan usai peristiwa kehilangan yang entah keberapakalinya ini?
Yah, aku mulai berpikir untuk menjadi sosok yang baru. Sosok yang independen. Aku tidak akan terjebak dalam klise persahabatan karena mau itu sejati atau tidak, seseorang masih dapat datang dan pergi darimu.
Aku akan menjadi orang yang bebas berteman dan mandiri dari teman. Aku tidak akan bergantung pada kebahagiaan yang hanya bisa didapatkan bersama teman tapi aku akan mencari kebahagiaanku sendiri. Aku akan menonton anime, drama korea, bertarung dengan diriku sendiri untuk mencapai puncak impianku selama ini, dan berinteraksi dengan dunia luar seperlunya saja.
Mungkin kau akan menilaiku terjatuh dalam sisi gelap. Namun percayalah, aku tidak berada di sisi manapun. Tidak di dalam sisi terang, atau sisi gelap. Aku mencampur kedua sisi itu dan menciptakan sisiku sendiri. Sisi kelabu -mari kita menyebutnya begitu.
Bagaimana dunia sisi kelabu ini? Sisi kelabu adalah dunia yang terlihat sangat labil, namun sebenarnya dunia yang sangat fleksibel. Karena penghuninya mampu menyesuaikan diri dengan penghuni sisi terang dan gelap tanpa menjadi bagian dari kedua sisi yang saling bertolak belakang. Namun sayang, kelemahan dari para penghuni sisi kelabu adalah ...
...mereka kadang -bahkan sebagian besar- meragukan karakter aslinya sendiri.
Dari semua kejadian yang pernah terjadi dalam dunia persahabatanku, ada satu dampak yang sangat besar dalam hidupku sampai-sampai aku tidak tahu harus senang atau sedih karenanya. Dampak ini tidak dapat kudefinisikan sebagai dampak positif atau negatif, dampak ini lebih dapat didenifinikan sesuai keadaannya yang menguntungkanku atau justru merugikanku. Dan dampak itu adalah;
"susah nangis."
Barusan ada yang udah ngucapin what the f- ?
Ya, susah nangis. Itu adalah dampak terbesar yang kurasakan hingga saat ini dan mungkin untuk kedepannya juga. Menurutmu itu hanya hal kecil? Tidak. Susah nangis benar-benar bukan hal kecil, apalagi jika disertai perasaan hampa dalam dirimu yang seolah tidak merasakan apa-apa.
Seperti ketika Tuning Pt. II mati, aku tidak merasa sedih ataupun kehilangan yang begitu dalam sampai-sampai mengeluarkan air mata. Aku hanya seperti "Oh, begitu ya. Jadi begitu."
Dan tidak merasakan apapun ketika harusnya kau sedih dan kehilangan, membuatku muak pada diriku sendiri.
Sekarang ini, aku juga sedang muak pada diriku sendiri. Pada diriku yang nampaknya tidak terlalu sedih ataupun kehilangan setelah ditinggalkan oleh sahabat. Aku baru menyadari sahabatku meninggalkanku tadi malam, tepat sebelum ingin tidur, aku gemetaran dan ingin sekali menangis. Ingin sekali terluka. Ingin sekali sedih sejadi-jadinya. Ingin sekali seperti di film-film dimana aku tidak bisa tidur hanya karena kepikiran. Tapi semua itu tidak terjadi padaku. Rasanya aku ingin berteriak keras namun tak mungkin, hari sudah malam. Aku benci pada diriku yang begitu dingin. Ya, hatiku telah beku. Tak dapat merasakan apa-apa.
Kini aku harus bertahan dengan hati yang beku ini, sampai kutemukan seseorang yang dapat mencairkannya. Tidak, itu terlalu bergantung pada orang lain. Akan kucairkan hatiku yang beku ini sendiri -bagaimanapun caranya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
No quote for this post. It's an outpouring-heart post.
Hari ini try out season 2 berakhir. Artinya, drama Hyde, Jekyll, Me besok tamat. Oke, enggak nyambung. Entah kenapa, hari ini nggak ada perasaan "merdeka" kayak apa yang selalu kurasakan ketika selesai ujian di hari terakhir. Mungkin karena udah biasa kali ya. Gimana enggak, UAS selama satu minggu full dua minggu yang lalu cukup memberi kontribusi yang berarti dalam menghadapi ujian. Try out 3 hari mah nggak ada apa-apanya dibanding UAS 1 minggu. Lebih capek UAS. Tapi, lebih serem try out soal-soalnya (T_T)
Nyinggung-nyinggung soal drama, tadi siang aku nonton drama Hyde Jekyll Me episode 19 lalu menemukan scene yang menjadi alasan mengapa aku menulis judul "Memori" dalam postku kali ini.
Oke aku jelasin sedikit kenapa Robin bilang kek gitu biar kalian yang tersesat dalam blogku ini paling nggak bisa ngerti dikiiiiit aja betapa dalemnya scene ini.
Goo Seo Jin adalah seorang laki-laki yang menderita DID (Disoriented Identity Disorder) yang artinya Seo Jin memiliki kepribadian ganda. Bukan kepribadian seperti baik hati, rajin menabung dan tidak sombong. Kepribadian di sini lebih kurang seperti "roh" lain yang bersemayam di tubuh Seo Jin. Dan "roh" itu salah satunya adalah Robin. Dalam drama ini, Robin adalah "roh" atau "kepribadian" yang paling dominan karena Robin adalah kepribadian yang pertama kali diciptakan Seo Jin akibat trauma masa lalunya. Intinya, di dalam tubuh Seo Jin ada roh "dirinya" dan roh "Robin".
Antara Seo Jin maupun Robin tidak dapat berbagi kenangan. Itu artinya, apa yang dilakukan Seo Jin tidak dapat diketahui Robin ketika roh Robin "bangun" dalam tubuh Seo Jin. Begitu pula sebaliknya. Namun lambat laun, masalah bermunculan yang mengakibatkan terjadi hal-hal aneh pada Seo Jin dan Robin. Seperti, Robin dapat meingat potongan-potongan ingatan Seo Jin dan sebaliknya. Klimaksnya, ingatan Robin, memudar satu persatu. Robin yang sangat mencintai Ha Na memutuskan untuk pergi karena dia tidak ingin menjadi orang yang tidak memiliki kenangan apapun bersama orang yang dicintainya. Iyalah, pacar lupa hari jadian aja marahnya selangit apalagi lupa segalanya alias hilang ingatan. Bayangannya gitu.
Karena itu, Robin bilang.
"Bahkan jika lengan ini menghilang, aku masih akan menjadi Robin. Bahkan jika kaki ini menghilang, aku masih akan menjadi Robin. Tapi, jika kenanganku menghilang, maka aku bukan lagi Robin."
Seorang Aulia yang menulis post ini adalah orang yang saaaaaaangat pelupa. Baju yang kemarin aku pakai aja perlu waktu beberapa menit dulu buat mikir baru aku ingat. Yah, bisa dibilang sifat pelupaku ini mungkin diturunkan dari gen Mama. Mama juga orang yang pelupa sehingga, ketika aku menemani Mama ke pasar dan sewaktu pulang ternyata ada yang ketinggalan di pasar, aku akan jadi bulan-bulanan Mama.
Nyinggung-nyinggung soal drama, tadi siang aku nonton drama Hyde Jekyll Me episode 19 lalu menemukan scene yang menjadi alasan mengapa aku menulis judul "Memori" dalam postku kali ini.
Oke aku jelasin sedikit kenapa Robin bilang kek gitu biar kalian yang tersesat dalam blogku ini paling nggak bisa ngerti dikiiiiit aja betapa dalemnya scene ini.
Goo Seo Jin adalah seorang laki-laki yang menderita DID (Disoriented Identity Disorder) yang artinya Seo Jin memiliki kepribadian ganda. Bukan kepribadian seperti baik hati, rajin menabung dan tidak sombong. Kepribadian di sini lebih kurang seperti "roh" lain yang bersemayam di tubuh Seo Jin. Dan "roh" itu salah satunya adalah Robin. Dalam drama ini, Robin adalah "roh" atau "kepribadian" yang paling dominan karena Robin adalah kepribadian yang pertama kali diciptakan Seo Jin akibat trauma masa lalunya. Intinya, di dalam tubuh Seo Jin ada roh "dirinya" dan roh "Robin".
Antara Seo Jin maupun Robin tidak dapat berbagi kenangan. Itu artinya, apa yang dilakukan Seo Jin tidak dapat diketahui Robin ketika roh Robin "bangun" dalam tubuh Seo Jin. Begitu pula sebaliknya. Namun lambat laun, masalah bermunculan yang mengakibatkan terjadi hal-hal aneh pada Seo Jin dan Robin. Seperti, Robin dapat meingat potongan-potongan ingatan Seo Jin dan sebaliknya. Klimaksnya, ingatan Robin, memudar satu persatu. Robin yang sangat mencintai Ha Na memutuskan untuk pergi karena dia tidak ingin menjadi orang yang tidak memiliki kenangan apapun bersama orang yang dicintainya. Iyalah, pacar lupa hari jadian aja marahnya selangit apalagi lupa segalanya alias hilang ingatan. Bayangannya gitu.
Karena itu, Robin bilang.
"Bahkan jika lengan ini menghilang, aku masih akan menjadi Robin. Bahkan jika kaki ini menghilang, aku masih akan menjadi Robin. Tapi, jika kenanganku menghilang, maka aku bukan lagi Robin."
Seorang Aulia yang menulis post ini adalah orang yang saaaaaaangat pelupa. Baju yang kemarin aku pakai aja perlu waktu beberapa menit dulu buat mikir baru aku ingat. Yah, bisa dibilang sifat pelupaku ini mungkin diturunkan dari gen Mama. Mama juga orang yang pelupa sehingga, ketika aku menemani Mama ke pasar dan sewaktu pulang ternyata ada yang ketinggalan di pasar, aku akan jadi bulan-bulanan Mama.
"Lia sih nggak ngingetin Mama! Ketinggalan, kan, jadinya."
Ngga sekali-duakali Mama ngomong gitu.
Ber..................................kali-kali.
Tau kan gimana sedihnya aku?
Udah yang nurunin gennya siapa ..................
#bercandaMa #maafinanakmuMa
Tapi, ternyata sifat pelupaku ini membuatku menjadi Masternya dalam hal move on.
Move on dari kesedihan, move on dari pelajaran sekolah, dan move on dari ................... #ahsudahlahyahsudahberlalu
Kadang aku berfikir, "Kalau aku terus-terusan lupa, dan tak banyak yang dapat kuingat dari masa lalu ... apa aku akan baik-baik saja?"
Sampai menit ke 48 lewat 43 detik aku nonton Hyde, Jekyll, Me (scene di atas) aku belum menemukan jawabannya. Usai menit tersebut, aku rasa aku menemukan jawaban atas pertanyaanku selama ini.
"Aku, tidak akan baik-baik saja."
Setelah menit tersebut, aku yakin kalau aku tidak akan baik-baik saja jika aku tidak dapat mengenang masa lalu. Entah itu masa lalu yang pahit, sedih, mengecewakan, memalukan, hingga yang membahagiakan ..... aku, aku tidak ingin melupakannya.
Tidak ingin.
Orang yang pernah dekat denganku sebelumnya adalah orang yang termasuk pengingat alias tidak mudah lupa. Aku ingat dia sering kecewa ketika aku lupa dengan apa yang pernah terjadi di masa lampau. Kini aku mengerti rasa kecewa-nya seperti apa. Dan "kini" itu, ... sudah sangat terlambat.
Aku kadang bertanya-tanya, orang seperti apa di masa depan nanti yang akan "tahan" dengan sifat pelupaku ini. Orang yang pengingat namun luar biasa sabar, kah ... atau orang yang tidak terlalu pedulian dengan hal-hal kecil, kah ... atau justru orang yang sama-sama pelupa. Entahlah. Aku tidak dapat membayangkannya.
Saat ini aku mungkin saja sedang mengalami stres ringan.
Memikirkan bahwa tidak banyak hal yang dapat kuingat di masa lalu, membuatku sedih. Mungkin nanti ketika acara reunian SMA, cuma aku yang tersenyum dan tertawa palsu. Tertawa, akan kenangan lucu di masa lalu yang mereka bicarakan. Kenangan lucu, yang tak dapat kuingat.
Memikirkan bahwa tidak banyak hal yang dapat kuingat di masa lalu, membuatku sedih. Mungkin nanti ketika acara reunian SMA, cuma aku yang tersenyum dan tertawa palsu. Tertawa, akan kenangan lucu di masa lalu yang mereka bicarakan. Kenangan lucu, yang tak dapat kuingat.
Semakin keras aku mengingat, justru semakin sulit bagiku mengumpulkan kepingan puzzle memori hidupku. Memori-memori itu bagiku sudah seperti remote TV saja, yang menghilang ketika dicari namun ada ketika aku tidak membutuhkan.
Datang, begitu saja.
Alternatifku saat ini untuk keluar dari zona stres ini adalah; tidak mengingatnya. Karena ketika berusaha mengingatnya, aku merasa miskin memori. Namun aku tahu dengan tidak mengingatnya tidak menjamin bahwa aku tidak akan kehilangan memori lagi. Setidaknya, aku tidak perlu sedih.
Setidaknya, untuk saat ini.
Adakah orang di luar sana yang mampu membantuku?
Membantuku mengingat atau membantuku menghadapi sifat pelupaku?
Aku ... tidak ingin begini.
Siapapun ... tolong aku.[]
............................................................................................................................................................
"Memori ibarat novel yang memuat cerita hidup. Seberapa tebal novelmu saat ini? Ingatkah kamu cerita di bab-bab sebelumnya? Apa jangan-jangan ada halaman yang robek?"
..............................................................................................................................................................
Kemarin tanggal 14 Februari ya? Wah ... berarti ada event khusus dong, yah. Kalo gitu aku mau ngucapin dulu deh. Ekhem. Happy ....................................................................................... Birthday, Abah! Yap, si Abah ulang tahun hari ini ^^
Hari yang orang lain sebut-sebut sebagai hari kasih sayang tidaklah begitu di mataku. Tanggal 14 Februari ya hari ulang tahunnya si Abah. Tidak ada yang berkesan kecuali satu, kemarin aku jogging sama si dia. *cieeeee* Rasanya menyenangkan, keliling-keliling pendopo dan bercanda ria. Berbicara banyak hal dan menertawakan banyak hal. Tidak ada degup kencang saat aku bersamanya. Tidak ada panas dingin saat kami tidak sengaja bersenggolan. Yang kurasakan hanya satu saat bersamanya; nyaman.
Dan itu cukup.
Waktupun berlalu begitu cepatnya. Jam menunjukkan pukul 5.30. Waktunya pulang. Waktunya berpisah. Tidak ada rasa "berat" saat waktu memisahkanku darinya. Oke, kuakui sedikit. Hanya seeeeedikit. Kurasa, aku sudah cukup baik dalam meng-handle perasaan suka ini. Kuharap. Nantinya, jika kami sudah benar-benar terpisah *kuliah di kota berbeda* aku sudah siap menjalani hari tanpa melihatnya lagi, untuk waktu yang sangat lama :')
Oh, iya. Kemarin, Lia, sahabatku -sekaligus saudara senamaku *sama-sama ada kata Lia dalam nama kami*- berkata padaku bahwa ia akan memberiku sebuah hadiah hari ini. Dan hari ini pun ia memberikannya padaku, sebuah kotak kecil dari kertas yang ia buat sendiri dengan hadiah gantungan hp berbentuk sepatu dari plastik. Sekilas, hadiah ini tampak sederhana. Tapi bagiku, hadiah ini sangat luar biasa. Ah, sudahkah aku memberitahumu bahwa ada surat di dalamnya?
Yap. Itulah surat dari Lia yang sangat, sangat membuatku terharu :')
Apa ada yang bertanya-tanya apa hubungan semua ini dengan judul post ini?
Oke, jawabannya akan kamu temukan jika kamu membaca post ini sampai selesai.
Ketakutan dalam persahabatan.
Hey, kamu. Seberapa banyak teman atau sahabat yang kamu miliki?
Sepuluh? Dua puluh?
Seberapa banyak teman yang datang di kala kau sakit?
Sepuluh? Dua puluh?
Seberapa banyak teman yang mengulurkan tangan di kala kau membutuhkan pertolongan?
Sepuluh? Dua puluh?
Meski kamu mengenal sejuta manusia, kenyataannya yang pasti ada untuk kita hanyalah beberapa. Pernahkah kamu menganggap seseorang begitu spesialnya, menganggap dia sahabat sejati dan sebagainya tapi dia tidak melakukan hal yang sama? Atau, sempat melakukan hal yang sama namun kedepannya justru meninggalkanmu begitu saja?
Bagaimana perasaanmu saat itu?
Tentunya menyakitkan, pasti. Rasanya seperti berjuang sendirian. Berjuang membangun tembok persahabatan namun sahabatmu itu hanya termenung melihat kita yang sibuk sendiri. Dan ketika dia sudah capek termenung, dia akan menjauh begitu saja. Mengendap-endap, lalu pergi tanpa kita sadari. Atau, terang-terangan pergi dan menghancurkan tembok itu hingga berkeping-keping.
Inilah ketakutanku dalam memulai sebuah persahabatan. Karena aku pernah membangun sebuah persahabatan yang akhirnya hancur begitu saja. Yang membuat ku dan nya tak lagi bertegur sapa seakrab dulu. Yang membuat ku dan nya tersenyum dalam rasa yang disebut canggung.
Siapa, sih, yang tidak ingin memiliki teman sehati dan sepemikiran? Sepemikiran dalam artian sama dalam menginterpretasi mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Aku sudah berkali-kali mencoba membangun persahabatan dengan orang-orang yang kiranya berpotensi menjadi teman sehati dan sepemikiran itu. Namun pada akhirnya, hanya aku yang berjuang.
Pertemuan pertamaku dengan Lia adalah ketika LPMT alias Lingkaran Penulis Remaja Tabalong mengadakan workshop kepenulisan. Aku dan Lia datang lebih dulu di perpustakaan daerah. Karena tidak ada siapa-siapa, aku iseng memulai pembicaraan daripada hanya diam. Awalnya kami hanya membicarakan topik ringan seperti betapa ngaretnya ketua LPMT yang bilang jam setengah 8 sudah harus ngumpul, dan ternyata topik berjalan semakin jauh. Belakangan aku tahu Lia ini termasuk anak berprestasi.
Iapun berbicara banyak hal padaku sampai pada kejadian naas yang menimpa ayahnya dan merenggut nyawa ayahnya di depan matanya. Yang kupikirkan saat itu adalah; ini kali pertama aku bertemu dan berbicara padanya dan ia sudah percaya padaku untuk berbicara hal yang ... seperti itu? Yang menyangkut kenangan keluarga? Betapa ... apa orang ini tipikal yang mau bicara hal seperti ini kepada siapa saja? Atau memang dia memiliki feel bahwa aku mungkin dapat menjadi sahabat sehati-sepemikirannya? Otakku terus bertanya-tanya, dan aku terus menggali jawabannya.
Karena jarak antar rumah yang jauh, aku dan Lia hanya bisa bertemu sekali dalam seminggu. Aku merasa klop dengannya karena kami hampir memiliki kesamaan dalam hal-hal tertentu. Akupun ingin percaya. Sekali lagi percaya pada feeling itu. Feeling yang mengatakan bahwa aku menemukan orang yang tepat. Orang yang bisa menjadi teman sehati dan sepemikiran.
Dan akhirnya, semua benar-benar terjawab hari ini. Semua benar-benar terjawab dengan surat ini. Kali ini, tidak hanya aku yang berjuang membangun tembok itu, tapi Lia juga. Kami berdua sama-sama berjuang membangun tembok persahabatan yang kelak akan menjadi sebuah rumah. Lalu kami akan terpisah dan suatu hari di kala kami sudah tua nanti, kami akan bertemu lagi dan masuk ke dalam rumah itu. Kami akan menempelkan tangan di dinding dan berjalan sambil menyentuh dinding dengan bangganya. Bangga, karena tembok itu kami bangun bersama. Lalu kami akan mengamati foto-foto kenangan kami bersama yang kami abadikan di tembok itu sambil tertawa dan bercucuran air mata nostalgia. Ya, perasaan seperti itu. Aku akan berjuang untuk mewujudkannya, bersamanya.
Yang ingin kukatakan di sini adalah,
Hey! Tidak perlu takut untuk menjalin sebuah relasi yang bersama persahabatan. Kau mungkin akan ditinggalkan oleh (calon) sahabatmu itu berkali-kali tapi yakinlah!
Tuhan akan memberikanmu yang terbaik, pada akhirnya.
Jika kau berhenti di tengah jalan, maka sampai kiamatpun kamu takkan pernah melihat akhir.
Apalagi jika kamu tidak ingin memulai, bagaimana bisa kau berharap untuk melihat akhir?
Tenang. Sukses itu diawali oleh huruf S. Karena itu, sebelum Sukses, kita harus Susah dulu. Sukses di sini yang aku maksud adalah sukses dalam persahabatan. Kapan kita mengetahui bahwa ini adalah akhir perjuangan kita dalam mencari sahabat? Jawabannya: kita takkan pernah mengetahuinya. Bahkan dengan surat dari Lia ini, bukannya tidak memungkinkan jika suatu hari kami justru musuhan. Tapi dengan surat ini, perjuanganku yang sungguh-sungguh dalam bersahabat baru saja dimulai. Kesimpulannya? Jangan berhenti berjuang. Berjuang untuk membuktikan bahwa dia-lah atau mereka-lah akhir yang terbaik untukmu.
Quotes untuk postingan kali eneeeeeh :
You'll never see the end if you don't even want to try because of your fears.
The true end sometimes comes slowly, but surely. Just believe that good things come on the right time.
-Aau-chan
Oke sampe situ dulu postingan kali ini ...
Salam!
PS : Kalo kamu udah nyerah buat nyari sahabat sehati-dan-sepemikiran, tenang, masih ada aku kok! Haha :D
Hari yang orang lain sebut-sebut sebagai hari kasih sayang tidaklah begitu di mataku. Tanggal 14 Februari ya hari ulang tahunnya si Abah. Tidak ada yang berkesan kecuali satu, kemarin aku jogging sama si dia. *cieeeee* Rasanya menyenangkan, keliling-keliling pendopo dan bercanda ria. Berbicara banyak hal dan menertawakan banyak hal. Tidak ada degup kencang saat aku bersamanya. Tidak ada panas dingin saat kami tidak sengaja bersenggolan. Yang kurasakan hanya satu saat bersamanya; nyaman.
Dan itu cukup.
Waktupun berlalu begitu cepatnya. Jam menunjukkan pukul 5.30. Waktunya pulang. Waktunya berpisah. Tidak ada rasa "berat" saat waktu memisahkanku darinya. Oke, kuakui sedikit. Hanya seeeeedikit. Kurasa, aku sudah cukup baik dalam meng-handle perasaan suka ini. Kuharap. Nantinya, jika kami sudah benar-benar terpisah *kuliah di kota berbeda* aku sudah siap menjalani hari tanpa melihatnya lagi, untuk waktu yang sangat lama :')
Oh, iya. Kemarin, Lia, sahabatku -sekaligus saudara senamaku *sama-sama ada kata Lia dalam nama kami*- berkata padaku bahwa ia akan memberiku sebuah hadiah hari ini. Dan hari ini pun ia memberikannya padaku, sebuah kotak kecil dari kertas yang ia buat sendiri dengan hadiah gantungan hp berbentuk sepatu dari plastik. Sekilas, hadiah ini tampak sederhana. Tapi bagiku, hadiah ini sangat luar biasa. Ah, sudahkah aku memberitahumu bahwa ada surat di dalamnya?
Yap. Itulah surat dari Lia yang sangat, sangat membuatku terharu :')
Apa ada yang bertanya-tanya apa hubungan semua ini dengan judul post ini?
Oke, jawabannya akan kamu temukan jika kamu membaca post ini sampai selesai.
Ketakutan dalam persahabatan.
Hey, kamu. Seberapa banyak teman atau sahabat yang kamu miliki?
Sepuluh? Dua puluh?
Seberapa banyak teman yang datang di kala kau sakit?
Sepuluh? Dua puluh?
Seberapa banyak teman yang mengulurkan tangan di kala kau membutuhkan pertolongan?
Sepuluh? Dua puluh?
Meski kamu mengenal sejuta manusia, kenyataannya yang pasti ada untuk kita hanyalah beberapa. Pernahkah kamu menganggap seseorang begitu spesialnya, menganggap dia sahabat sejati dan sebagainya tapi dia tidak melakukan hal yang sama? Atau, sempat melakukan hal yang sama namun kedepannya justru meninggalkanmu begitu saja?
Bagaimana perasaanmu saat itu?
Tentunya menyakitkan, pasti. Rasanya seperti berjuang sendirian. Berjuang membangun tembok persahabatan namun sahabatmu itu hanya termenung melihat kita yang sibuk sendiri. Dan ketika dia sudah capek termenung, dia akan menjauh begitu saja. Mengendap-endap, lalu pergi tanpa kita sadari. Atau, terang-terangan pergi dan menghancurkan tembok itu hingga berkeping-keping.
Inilah ketakutanku dalam memulai sebuah persahabatan. Karena aku pernah membangun sebuah persahabatan yang akhirnya hancur begitu saja. Yang membuat ku dan nya tak lagi bertegur sapa seakrab dulu. Yang membuat ku dan nya tersenyum dalam rasa yang disebut canggung.
Siapa, sih, yang tidak ingin memiliki teman sehati dan sepemikiran? Sepemikiran dalam artian sama dalam menginterpretasi mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Aku sudah berkali-kali mencoba membangun persahabatan dengan orang-orang yang kiranya berpotensi menjadi teman sehati dan sepemikiran itu. Namun pada akhirnya, hanya aku yang berjuang.
Pertemuan pertamaku dengan Lia adalah ketika LPMT alias Lingkaran Penulis Remaja Tabalong mengadakan workshop kepenulisan. Aku dan Lia datang lebih dulu di perpustakaan daerah. Karena tidak ada siapa-siapa, aku iseng memulai pembicaraan daripada hanya diam. Awalnya kami hanya membicarakan topik ringan seperti betapa ngaretnya ketua LPMT yang bilang jam setengah 8 sudah harus ngumpul, dan ternyata topik berjalan semakin jauh. Belakangan aku tahu Lia ini termasuk anak berprestasi.
Iapun berbicara banyak hal padaku sampai pada kejadian naas yang menimpa ayahnya dan merenggut nyawa ayahnya di depan matanya. Yang kupikirkan saat itu adalah; ini kali pertama aku bertemu dan berbicara padanya dan ia sudah percaya padaku untuk berbicara hal yang ... seperti itu? Yang menyangkut kenangan keluarga? Betapa ... apa orang ini tipikal yang mau bicara hal seperti ini kepada siapa saja? Atau memang dia memiliki feel bahwa aku mungkin dapat menjadi sahabat sehati-sepemikirannya? Otakku terus bertanya-tanya, dan aku terus menggali jawabannya.
Karena jarak antar rumah yang jauh, aku dan Lia hanya bisa bertemu sekali dalam seminggu. Aku merasa klop dengannya karena kami hampir memiliki kesamaan dalam hal-hal tertentu. Akupun ingin percaya. Sekali lagi percaya pada feeling itu. Feeling yang mengatakan bahwa aku menemukan orang yang tepat. Orang yang bisa menjadi teman sehati dan sepemikiran.
Dan akhirnya, semua benar-benar terjawab hari ini. Semua benar-benar terjawab dengan surat ini. Kali ini, tidak hanya aku yang berjuang membangun tembok itu, tapi Lia juga. Kami berdua sama-sama berjuang membangun tembok persahabatan yang kelak akan menjadi sebuah rumah. Lalu kami akan terpisah dan suatu hari di kala kami sudah tua nanti, kami akan bertemu lagi dan masuk ke dalam rumah itu. Kami akan menempelkan tangan di dinding dan berjalan sambil menyentuh dinding dengan bangganya. Bangga, karena tembok itu kami bangun bersama. Lalu kami akan mengamati foto-foto kenangan kami bersama yang kami abadikan di tembok itu sambil tertawa dan bercucuran air mata nostalgia. Ya, perasaan seperti itu. Aku akan berjuang untuk mewujudkannya, bersamanya.
Yang ingin kukatakan di sini adalah,
Hey! Tidak perlu takut untuk menjalin sebuah relasi yang bersama persahabatan. Kau mungkin akan ditinggalkan oleh (calon) sahabatmu itu berkali-kali tapi yakinlah!
Tuhan akan memberikanmu yang terbaik, pada akhirnya.
Jika kau berhenti di tengah jalan, maka sampai kiamatpun kamu takkan pernah melihat akhir.
Apalagi jika kamu tidak ingin memulai, bagaimana bisa kau berharap untuk melihat akhir?
Tenang. Sukses itu diawali oleh huruf S. Karena itu, sebelum Sukses, kita harus Susah dulu. Sukses di sini yang aku maksud adalah sukses dalam persahabatan. Kapan kita mengetahui bahwa ini adalah akhir perjuangan kita dalam mencari sahabat? Jawabannya: kita takkan pernah mengetahuinya. Bahkan dengan surat dari Lia ini, bukannya tidak memungkinkan jika suatu hari kami justru musuhan. Tapi dengan surat ini, perjuanganku yang sungguh-sungguh dalam bersahabat baru saja dimulai. Kesimpulannya? Jangan berhenti berjuang. Berjuang untuk membuktikan bahwa dia-lah atau mereka-lah akhir yang terbaik untukmu.
Quotes untuk postingan kali eneeeeeh :
You'll never see the end if you don't even want to try because of your fears.
The true end sometimes comes slowly, but surely. Just believe that good things come on the right time.
-Aau-chan
Oke sampe situ dulu postingan kali ini ...
Salam!
PS : Kalo kamu udah nyerah buat nyari sahabat sehati-dan-sepemikiran, tenang, masih ada aku kok! Haha :D